XII
DEMI CINTA PULANG KE TOBA
Karena merasa iba dengan kakaknya Longga beserta anaknya
yang masih kecil, Jojor sering berkomunikasi dengan kakaknya dan bercerita
kepada saya setiap ada perkembangan baru.
Jojor dan Longga sejak kecil memang sebagai Saudara dekat, selalu bertukar cerita dengan saya.
“Bang, kakak katanya merasa sedih tinggal diasrama di Medan sepeninggal almarhum, lagi pula karena alasan ekonomi”, kata Jojor dalam telponnya.
“Terus mau tinggal dimana ?”, kata saya.
“Untuk sementara kumpul Bapak, Ibu dulu di kampung di Simaninggir”, katan Jojor sambil melanjutkan :”Tapi untuk selanjutnya akan tinggal di Pulau Samosir”.
“Baguslah adek, hidup harus move on kan, terus di Pulau Samosir mau kerja apa ?”, kata saya.
“Katanya suaminya kebagian warisan sawah dan ladang, untuk tanam padi dan jagung, cukuplah untuk mereka”, kata Jojor.
Üntung kita kuliah ya Jor, jadi tidak perlu banting tulang begitu, kasihan”, kata saya.
“Demi cinta, nasib membawanya pulang ke Toba”, kata saya seperti bunyi lagu.
“Demi cinta nasib membawamu ke Candi, Semarang”, kata Jojor tertawa tawa.
“Beda Jor, Ayahnya dan anaknya sama sama sehati he he he”, jawab saya.
“Laxmi sudah mengiyakan bang”, desak Jojor.
“Saya sih nunggu jandanya Dokter juga mau”, kata saya berseloroh.
Äh Abang sih ga pernah serius sama cewek, jadi ditinggalin terus”, katanya mengejek, lalu mematikan hand phonenya.
Demi anaknya Longga harus bekerja disawah dan ladang, satu dan lain hal karena pacaran dibangku sekolah dan nikah diusia dini, tidak kuliah.
Mau kerja dikota, tidak punya keahlian, hanya mengandalkan ijazah SMA saja.
Lapangan pekerjaan sangat terbatas sehingga lebih terjamin hidup menggarap sawah dan ladang warisan di pulau Samosir.
Hingga pada suatu hari telpon mengejutkan datang dari Jojor.
“Bang ternyata adiknya Poltak alm, mau menikah dengan kakak”, katanya dan bertanya :
”Bagaimana menurut Abang”, tanyanya.
“Bagus itu adek, itu yang namanya “Manoroni” dalam Adat, syaratnya asal Longga mau”, kata saya.
Dalam hati saya bersyukur, bayang Pariban akhirnya akan lenyap selamanya, setelah mereka nanti nikah.
Terus terang saja setelah Poltak meninggal bayangannya mengganggu terus mimpi mimpiku.
Sama halnya dengan Longga, adik suaminya yang hanya lulusan SMA, juga bertani disamping memelihara ikan nila dalam Karamba di Danau Toba.
Paling sedikit ada suami yang akan bertanggung jawab atas kehidupan rumah tangga mereka dan membesarkan anak yang ditinggalkan Poltak.
Memang setelah Poltak meninggal, Ibu dan Bapak saya pernah berkata begini :
“Pamanmu dan istrinya sangat terpukul setelah mendengar khabar”, kata Ibu seraya menanyakan :
“Apakah kau ga kasihan ?”, tanyanya.
“Itu sudah suratan bu, mau diapakan lagi”, jawab saya tegas.
Saya rasa Ibu dan Bapak saya ingin saya mengawini Longga, tetapi tidak berani mengatakannya.
“Dari pada Longga lebih baik kawin sama adiknya Jojor, biar Longga tersiksa”, dalam hati saya.
Beberapa bulan kemudian Bapak bertelpon :”Kalau kau ada waktu pulanglah kami sudah rindu”, katanya.
“Ya pak, nanti saya lihat dulu”, kata saya. Saya sudah menduga akan diajak kepesta perkawinan Loongga.
Jojor sebelumya sudah menelpon : “Bang mau ikut menghadiri pernikahan Longga di pulau Samosir ga ?”, tanyanya hati hati.
“Nanti kutanya dia dulu”, jawab saya.
“Tanya siapa bang”, desak Jojor.
“Ya siapa lagi kalau bukan Semarang ”, kata saya menahan tawa..
“Ök ok, ditunggu ya bang”, kata Jojor dengan nada ketawa ditahan.
Saya jadi serba salah. pergi salah, tidak pergi salah. Tapi kalau ada waktu saya akan pergi tapi tidak melalui Bandara FL Tobing, Sibolga tetapi langsung ke Bandara Silangit di Siborong borong, dekat Danau Toba. Jadi habis pesta besoknya langsung pulang ke Jakarta karena banyak kerjaan, banyak perusahaan yang akan segera Go public.
Setelah berfikir dalam dalam kuputuskan akan pergi, saya lalu telpon Laxmi di Semarang.
“Lax, ayo kita jalan jalan ke Danau Toba 3 hari”, kata saya sambil meneruskan :”Lihat festival Danau Toba tgl 9 September”, kata saya.
”Jumat sampai Minggu, Senin kita sudah pulang”, kata saya.
“Kita mampir di kampung Bapak di Balige ya ?”, kata Laxmi.
Sementara itu Laxmi mengajak juga Saudaranya Bonar, bahkan ticketnya Ayah Laxmi yang bayar. Sekalian pulang sama sama ke kampung nenek mereka di Balige.
Tentu tidak masalah jika bersama sama dengan saya, sahabat lamanya.
Tiba di bandara Silangit saya bicara sama Laxmi. “Maaf Lax, saya belum cerita kalau besok kita menghadiri pestanya Longga”, kata saya perlahan.
Äpa, mantanmu itu ?, saya ga mau ikut”, jawabnya.
“Kenapa Abang bohong, kalau aku tau aku ga mau ikut”, katanya.
"Kalau aku bilang, kau pasti ga mau ikut", kata saya lembut.
"Ayo Bonar kita ke Balige saja”, kata Laxmi bangkit sambil tarik kopernya. Bonar dan Laxmi pergi naik taxi.
Wah saya jadi bingung, sensitive sekali perasaan wanita. Pada hal dia kelahiran Semarang dan besar di Semarang, saya kira dia tidak sekeras itu.
Saya mengejarnya dengan mobil sewaan.
“Bang kebut ikutin taxi biru itu sampai Balige, jangan sampai ketinggalan ”, kata saya kepada sopir.
Saya coba telpon, HPnya tidak aktif, mungkin tidak ada signyal atau sengaja dimatikan, karena sedang marah.
Sampai di kota Balige, taxi berhenti mengisi bensin lalu saya keluar dan membuka pintu taxi.
“Maaf Lax, maaf, jika aku bilang kau pasti ga mau ikut”, kata aya mengulangi, membucuk halus. Lalu melanjutkan :”Saya mau mengenalkan kau sama Bapak dan Ibu saya yang juga datang ke pesta”.
“Ya sudah Lax, pergilah sama Leo”, kata Bonar.
Mendengar mau diperkenalkan sama orang tua saya, hati Laxmi luluh.
“Bonar datang ke pesta besok, tidak apa apa, ada Jojor kok”, kata saya. Wajah Bonar dengan wajah berseri seri, karena bisa bertemu dengan Jojor, mantan pacarnya.
Akhirnya Laxmi pindah ke mobil saya sedang Bonar menginap dulu dirumah keluarganya.
Perjalanan saya dan Laxmi akhirnya berlanjut ke kota Prapat sebelum menyeberang ke pulau Samosir.
Penyeberangan ke pulau Samosir hanya 45 menit, hanya perlu menunggu jadwal keberangkatan kapal.
Kapal Ferrynya penuh dengan turis asing di lantai 2, duduk tanpa atap memandang Danau yang tenang, gunung hijau dan rumah, hotel bergaya daerah Batak.
Lalu saya menelpon Jojor :”Selamat siang adek, Bapak Ibu kita sudah pada datang ?”, tanya saya.
“Sudah bang mereka menginap dirumah keluarga, datanglah nanti saya antar”, katanya.
Sebelum kami datang saya harus tanya dulu sama Laxmi jangan sampai dia marah lagi.
“Lax, setelah sampai di hotel kita mau ketemu Bapak, Ibu atau nanti saja sesudah pesta”, tanya saya hati hati.
“Sore saja bang, besok pasti ga sempat”, kata Laxmi.
Sorenya kami berangkat ingin menjumpai Bapak dan Ibu saya. Saya ajak Lax :
”Äyo jangan keburu malam, kita jemput Jojor dulu”, kata saya.
“Tidak usah, kita langsung, tanya saja Jojor letak rumahnya”, jawabnya.
Rupanya dia menghindar tidak ketemu dengan Longga, mantan saya. Saya mengalah saja.
Sampai ditempat, saya memperkenalkan Laxmi kepada Bapak, Ibu saya. Karena sudah hampir malam dan dirumah itu banyak orang, saya berkata kepada Bapak dan Ibu :
“Kita makan di lapo (warung) dipinggir Danau Toba”, kata saya.
Ibu yang tidak sabaran didalam mobil bertanya :”Laxmi itu boru (marga) apa”, katanya.
Boru Sitompul Inang (Ibu) dari Semarang”, jawab Laxmi.
“Kalian ketemu dimana ?”, kata Bapak saya.
Äbang datang kerumah”, kata Laxmi.
“Nantilah kita marnonang (cerita) di warung pak”, kata saya.
“Banyak kali cakap kau”, katanya menghardik.
“Dulu aku sudah cerita kan pak ?”, jawabku dan melanjutkan :”Kalian harus ketemu dulu baru kasih keputusan”, jawab saya.
“Keputusan apa bang”, tanya Laxmi.
“Keputusan melamar apa tidak”, jawabku.
Persis masuk warung, mentari senja condok kearah Barat dengan warnanya merah jingga dan pancaran cahayanya yang memanjang diatas riak riak kecil Danau Toba.
“Nah sekarang marnonanglah (ceritalah) kalian”, kata saya.
“Berapa lama lagi sekolahmu”, kata Ibu saya.
“Setahun lebih Inang (Ibu)”, kata Laxmi.
“Bapak, Ibumu gimana ?”, tanya Ibu lagi
“Bapak senang sama Abang tapi Ibu sudah tidak ada lag”, jawabnya.
“Kakak sama Abangmu masih ada yang belum nikah ?”, tanya Ayah.
“Sudah nikah semua, mereka di Jakarta Amang (Bapak)”, kata Laxma.
Jojor dan Longga sejak kecil memang sebagai Saudara dekat, selalu bertukar cerita dengan saya.
“Bang, kakak katanya merasa sedih tinggal diasrama di Medan sepeninggal almarhum, lagi pula karena alasan ekonomi”, kata Jojor dalam telponnya.
“Terus mau tinggal dimana ?”, kata saya.
“Untuk sementara kumpul Bapak, Ibu dulu di kampung di Simaninggir”, katan Jojor sambil melanjutkan :”Tapi untuk selanjutnya akan tinggal di Pulau Samosir”.
“Baguslah adek, hidup harus move on kan, terus di Pulau Samosir mau kerja apa ?”, kata saya.
“Katanya suaminya kebagian warisan sawah dan ladang, untuk tanam padi dan jagung, cukuplah untuk mereka”, kata Jojor.
Üntung kita kuliah ya Jor, jadi tidak perlu banting tulang begitu, kasihan”, kata saya.
“Demi cinta, nasib membawanya pulang ke Toba”, kata saya seperti bunyi lagu.
“Demi cinta nasib membawamu ke Candi, Semarang”, kata Jojor tertawa tawa.
“Beda Jor, Ayahnya dan anaknya sama sama sehati he he he”, jawab saya.
“Laxmi sudah mengiyakan bang”, desak Jojor.
“Saya sih nunggu jandanya Dokter juga mau”, kata saya berseloroh.
Äh Abang sih ga pernah serius sama cewek, jadi ditinggalin terus”, katanya mengejek, lalu mematikan hand phonenya.
Demi anaknya Longga harus bekerja disawah dan ladang, satu dan lain hal karena pacaran dibangku sekolah dan nikah diusia dini, tidak kuliah.
Mau kerja dikota, tidak punya keahlian, hanya mengandalkan ijazah SMA saja.
Lapangan pekerjaan sangat terbatas sehingga lebih terjamin hidup menggarap sawah dan ladang warisan di pulau Samosir.
Hingga pada suatu hari telpon mengejutkan datang dari Jojor.
“Bang ternyata adiknya Poltak alm, mau menikah dengan kakak”, katanya dan bertanya :
”Bagaimana menurut Abang”, tanyanya.
“Bagus itu adek, itu yang namanya “Manoroni” dalam Adat, syaratnya asal Longga mau”, kata saya.
Dalam hati saya bersyukur, bayang Pariban akhirnya akan lenyap selamanya, setelah mereka nanti nikah.
Terus terang saja setelah Poltak meninggal bayangannya mengganggu terus mimpi mimpiku.
Sama halnya dengan Longga, adik suaminya yang hanya lulusan SMA, juga bertani disamping memelihara ikan nila dalam Karamba di Danau Toba.
Paling sedikit ada suami yang akan bertanggung jawab atas kehidupan rumah tangga mereka dan membesarkan anak yang ditinggalkan Poltak.
Memang setelah Poltak meninggal, Ibu dan Bapak saya pernah berkata begini :
“Pamanmu dan istrinya sangat terpukul setelah mendengar khabar”, kata Ibu seraya menanyakan :
“Apakah kau ga kasihan ?”, tanyanya.
“Itu sudah suratan bu, mau diapakan lagi”, jawab saya tegas.
Saya rasa Ibu dan Bapak saya ingin saya mengawini Longga, tetapi tidak berani mengatakannya.
“Dari pada Longga lebih baik kawin sama adiknya Jojor, biar Longga tersiksa”, dalam hati saya.
Beberapa bulan kemudian Bapak bertelpon :”Kalau kau ada waktu pulanglah kami sudah rindu”, katanya.
“Ya pak, nanti saya lihat dulu”, kata saya. Saya sudah menduga akan diajak kepesta perkawinan Loongga.
Jojor sebelumya sudah menelpon : “Bang mau ikut menghadiri pernikahan Longga di pulau Samosir ga ?”, tanyanya hati hati.
“Nanti kutanya dia dulu”, jawab saya.
“Tanya siapa bang”, desak Jojor.
“Ya siapa lagi kalau bukan Semarang ”, kata saya menahan tawa..
“Ök ok, ditunggu ya bang”, kata Jojor dengan nada ketawa ditahan.
Saya jadi serba salah. pergi salah, tidak pergi salah. Tapi kalau ada waktu saya akan pergi tapi tidak melalui Bandara FL Tobing, Sibolga tetapi langsung ke Bandara Silangit di Siborong borong, dekat Danau Toba. Jadi habis pesta besoknya langsung pulang ke Jakarta karena banyak kerjaan, banyak perusahaan yang akan segera Go public.
Setelah berfikir dalam dalam kuputuskan akan pergi, saya lalu telpon Laxmi di Semarang.
“Lax, ayo kita jalan jalan ke Danau Toba 3 hari”, kata saya sambil meneruskan :”Lihat festival Danau Toba tgl 9 September”, kata saya.
”Jumat sampai Minggu, Senin kita sudah pulang”, kata saya.
“Kita mampir di kampung Bapak di Balige ya ?”, kata Laxmi.
Sementara itu Laxmi mengajak juga Saudaranya Bonar, bahkan ticketnya Ayah Laxmi yang bayar. Sekalian pulang sama sama ke kampung nenek mereka di Balige.
Tentu tidak masalah jika bersama sama dengan saya, sahabat lamanya.
Tiba di bandara Silangit saya bicara sama Laxmi. “Maaf Lax, saya belum cerita kalau besok kita menghadiri pestanya Longga”, kata saya perlahan.
Äpa, mantanmu itu ?, saya ga mau ikut”, jawabnya.
“Kenapa Abang bohong, kalau aku tau aku ga mau ikut”, katanya.
"Kalau aku bilang, kau pasti ga mau ikut", kata saya lembut.
"Ayo Bonar kita ke Balige saja”, kata Laxmi bangkit sambil tarik kopernya. Bonar dan Laxmi pergi naik taxi.
Wah saya jadi bingung, sensitive sekali perasaan wanita. Pada hal dia kelahiran Semarang dan besar di Semarang, saya kira dia tidak sekeras itu.
Saya mengejarnya dengan mobil sewaan.
“Bang kebut ikutin taxi biru itu sampai Balige, jangan sampai ketinggalan ”, kata saya kepada sopir.
Saya coba telpon, HPnya tidak aktif, mungkin tidak ada signyal atau sengaja dimatikan, karena sedang marah.
Sampai di kota Balige, taxi berhenti mengisi bensin lalu saya keluar dan membuka pintu taxi.
“Maaf Lax, maaf, jika aku bilang kau pasti ga mau ikut”, kata aya mengulangi, membucuk halus. Lalu melanjutkan :”Saya mau mengenalkan kau sama Bapak dan Ibu saya yang juga datang ke pesta”.
“Ya sudah Lax, pergilah sama Leo”, kata Bonar.
Mendengar mau diperkenalkan sama orang tua saya, hati Laxmi luluh.
“Bonar datang ke pesta besok, tidak apa apa, ada Jojor kok”, kata saya. Wajah Bonar dengan wajah berseri seri, karena bisa bertemu dengan Jojor, mantan pacarnya.
Akhirnya Laxmi pindah ke mobil saya sedang Bonar menginap dulu dirumah keluarganya.
Perjalanan saya dan Laxmi akhirnya berlanjut ke kota Prapat sebelum menyeberang ke pulau Samosir.
Penyeberangan ke pulau Samosir hanya 45 menit, hanya perlu menunggu jadwal keberangkatan kapal.
Kapal Ferrynya penuh dengan turis asing di lantai 2, duduk tanpa atap memandang Danau yang tenang, gunung hijau dan rumah, hotel bergaya daerah Batak.
Lalu saya menelpon Jojor :”Selamat siang adek, Bapak Ibu kita sudah pada datang ?”, tanya saya.
“Sudah bang mereka menginap dirumah keluarga, datanglah nanti saya antar”, katanya.
Sebelum kami datang saya harus tanya dulu sama Laxmi jangan sampai dia marah lagi.
“Lax, setelah sampai di hotel kita mau ketemu Bapak, Ibu atau nanti saja sesudah pesta”, tanya saya hati hati.
“Sore saja bang, besok pasti ga sempat”, kata Laxmi.
Sorenya kami berangkat ingin menjumpai Bapak dan Ibu saya. Saya ajak Lax :
”Äyo jangan keburu malam, kita jemput Jojor dulu”, kata saya.
“Tidak usah, kita langsung, tanya saja Jojor letak rumahnya”, jawabnya.
Rupanya dia menghindar tidak ketemu dengan Longga, mantan saya. Saya mengalah saja.
Sampai ditempat, saya memperkenalkan Laxmi kepada Bapak, Ibu saya. Karena sudah hampir malam dan dirumah itu banyak orang, saya berkata kepada Bapak dan Ibu :
“Kita makan di lapo (warung) dipinggir Danau Toba”, kata saya.
Ibu yang tidak sabaran didalam mobil bertanya :”Laxmi itu boru (marga) apa”, katanya.
Boru Sitompul Inang (Ibu) dari Semarang”, jawab Laxmi.
“Kalian ketemu dimana ?”, kata Bapak saya.
Äbang datang kerumah”, kata Laxmi.
“Nantilah kita marnonang (cerita) di warung pak”, kata saya.
“Banyak kali cakap kau”, katanya menghardik.
“Dulu aku sudah cerita kan pak ?”, jawabku dan melanjutkan :”Kalian harus ketemu dulu baru kasih keputusan”, jawab saya.
“Keputusan apa bang”, tanya Laxmi.
“Keputusan melamar apa tidak”, jawabku.
Persis masuk warung, mentari senja condok kearah Barat dengan warnanya merah jingga dan pancaran cahayanya yang memanjang diatas riak riak kecil Danau Toba.
“Nah sekarang marnonanglah (ceritalah) kalian”, kata saya.
“Berapa lama lagi sekolahmu”, kata Ibu saya.
“Setahun lebih Inang (Ibu)”, kata Laxmi.
“Bapak, Ibumu gimana ?”, tanya Ibu lagi
“Bapak senang sama Abang tapi Ibu sudah tidak ada lag”, jawabnya.
“Kakak sama Abangmu masih ada yang belum nikah ?”, tanya Ayah.
“Sudah nikah semua, mereka di Jakarta Amang (Bapak)”, kata Laxma.
Sambil makan kelihatan lampu lampu karamba di Danau Toba
sungguh menarik seperti di pemandangan nelayan di Teluk Tapian Nauli, Sibolga.
“Jadi sudah puas kalian marnonang (cerita) itu ?”, tanya saya memecah kesunyian fikiran masing masing.
Üli (cantik) juga kau”, kata Ibu memegang kedua belah pipnya Laxmi. Untung agak gelap , tidak ketara muka Laxmi memerah.
”Ah inang ini”, jawab Laxmi malu malu.
“Pantas anakku suka sama kau”, kata Ibu memujinya.
Setelah antar Bapak, Ibu pulang, dalam perjalanan ke hotel, Laxmi menyetel radio setempat lagu lagu Batak yang khas serta ikut menyanyi nyanyi kecil.
Pesta kawin adat dikampung cukup ramai dari 3 grup marga besar,yaitu marga suami, marga istri dan marga paman. Belum lagi ditambah 2 grup lagi yaitu grup keluarga se kampung dan terakhir grup sahabat kedua mempelai.
Suara gondang dan musik traditional memenuhi udara kampung Tuk tuk Siadong beserta undangan yang semua memakai ulos dibahunya. Banyak Ibu Ibu tua yang berbibir merah, karena makan sirih pinang.
“Jadi sudah puas kalian marnonang (cerita) itu ?”, tanya saya memecah kesunyian fikiran masing masing.
Üli (cantik) juga kau”, kata Ibu memegang kedua belah pipnya Laxmi. Untung agak gelap , tidak ketara muka Laxmi memerah.
”Ah inang ini”, jawab Laxmi malu malu.
“Pantas anakku suka sama kau”, kata Ibu memujinya.
Setelah antar Bapak, Ibu pulang, dalam perjalanan ke hotel, Laxmi menyetel radio setempat lagu lagu Batak yang khas serta ikut menyanyi nyanyi kecil.
Pesta kawin adat dikampung cukup ramai dari 3 grup marga besar,yaitu marga suami, marga istri dan marga paman. Belum lagi ditambah 2 grup lagi yaitu grup keluarga se kampung dan terakhir grup sahabat kedua mempelai.
Suara gondang dan musik traditional memenuhi udara kampung Tuk tuk Siadong beserta undangan yang semua memakai ulos dibahunya. Banyak Ibu Ibu tua yang berbibir merah, karena makan sirih pinang.
Sewaktu salaman saya dan Laxmi maju ke pelaminan. Tiba
giliran, saya memperkenalkan Laxmi kepada Longga dan suaminya dengan berkata :
”Ïni Laxmi calon saya”, kata saya. Nampak air mata menetes dipipi Longga.
Tidak tahu apa arti air mata itu.
Dengal kapal Ferry terakhir sore itu kami menyeberang ke kota Parapat. Kerumunan orang masih ramai mengikuti Festival Danau Toba tahunan. Semua kapal, pelabuan dihias dengan lampu lampu dan design khas beberapa suku disekitar Danau Toba.
Malam itu kami menginap dirumah keluarga Ayah Laxmi di kota Balige. Besok menunggu pesawat di bandara Silangit dari Kuala Namu, Medan menuju Jakarta.
”Ïni Laxmi calon saya”, kata saya. Nampak air mata menetes dipipi Longga.
Tidak tahu apa arti air mata itu.
Dengal kapal Ferry terakhir sore itu kami menyeberang ke kota Parapat. Kerumunan orang masih ramai mengikuti Festival Danau Toba tahunan. Semua kapal, pelabuan dihias dengan lampu lampu dan design khas beberapa suku disekitar Danau Toba.
Malam itu kami menginap dirumah keluarga Ayah Laxmi di kota Balige. Besok menunggu pesawat di bandara Silangit dari Kuala Namu, Medan menuju Jakarta.
No comments:
Post a Comment