Saturday, September 10, 2016

NOVEL PILIHAN HATI Dr MUDA DARI MANADO XIII @ LARI DARI BAYANG PARIBAN (13)

Patung Yesus, Ciputra dan  ‘Jihad Properti’



                                                            XIII
                            PILIHAN HATI Dr. MUDA DARI MANADO.

Sesuai dengan permintaan Jojor kepada saya, perusahaan Go public yang akan dijadikan tempat riset adalah peternakan Ayam besar di Indonesia yang terletak di Ancol Barat, Jakarta, yang saham mayoritasnya, dimiliki pengusahaThailand.
 Surat permohonan Jojor sudah disetujui oleh perusahaan.

Mengumpulkan data hanya perlu seminggu, itupun analisanya kebanyakan dilakukan Jojor di Apartemenku di Kemayoran pada saat saya bekerja.
Biasanya kami baru ketemu sekitar jam 8 – 9 malam sesudah pulang kerja, kecuali hari Sabtu dan Minggu.
Saya tidur di ruang tamu dan Jojor tidur di kamar.

Pada suatu malam, saya belum pulang kantor, Laxmi telpon ke telpon Apartemen, karena hand phone saya di silent pada saat rapat. Jojor bercerita kalau Laxmi marah marah.
:”Hallo, bisa bicara dengan Leo ?”, kata Laxmi.
“Dengan siapa ya, dia belum pulang”, jawab Jojor.
“Ïni Laxmi dari Semarang, ini siapa ya ?”.
“Saya Jojor kak”, jawab Jojor.
“Lho kok, lagi ngapain disana ?”, tanya Laxmi.
“Lagi riset kak untuk skripsi”, jawab Jojor.

Hening sebentar, lalu Jojor berkata :”Hallo kak”.
“Kok berani beraninya kamu tidur disana ?”, kata Laxmi dengan nada tinggi.
“Emangnya ga boleh, mengapa pula kakak keberatan  ?”, jawab Jojor dengan logat Medannya.
“Jojor ga tahu jaga perasaan orang”, kata Laxmi.
“Kalau kakak boleh tidur disini”, jawab Jojor.
“Tapi kami ga berbuat macam macam”, jawab Laxmi.
“Yang bilang macam macam siapa ?“, jawab Jojor.
Telpon pun dibanting oleh Laxmi.

Setelah pulang saya langsung menelpon ke Laxmi di Semarang.
“Hi apa khabar, maaf tadi saya ada meeting”, kata saya.
“Lho kok Jojor tidur disana bang ?”, kata Laxmi.
“Ya dia lagi menyusun skripsinya menggunakan komputer di Apartemen”, jawab saya.
“Abang serius ga sih, biar saya tahu”, kata Laxmi.
Terus dilanjutkan : “Aku ga setuju Abang dengan Jojor terus terus begitu”, kata Laxmi.
“Terus terus bagaimana maksudnya, Laxmi kan sudah kenal saya, kami tidak macam macam kok, dia adekku, anak pamanku kandung”, jawabku.
“Bukan adekmu, itu Parianmu, calonmu”, kata Laxmi dengan nadaa tinggi.

“Jangan begitu Lax, kalau kau terus curiga begitu, nanti saya pulang larut malam, kau curiga juga”, jawab saya.
“Pokoknya pikirkan bang, aku ga setuju Jojor nempel terus begitu, dia tidak menghormati perasaan saya”, kata Laxmi.
“Sorry Lax, setuju ga setuju Jojor tetap disini seminggu”, kata saya.
“Ya sudah”, katanya menutup telpon.

Saya tidak ceritakan semua apa yang disampaikan Laxmi, agar penyusunan skripsi Jojor tidak terganggu.
“Apa katanya bang”, tanya Jojor.
“Abang cuma jelaskan kalau kau lagi riset”, jawab saya dengan senyum.
Bulan berikutnya  Jojor minta bantuan saya untuk meminta data tambahan lagi, Statistk produksi Ayam dalam 10 tahun terakhir. Web site perusahaan tidak bisa diakses.
Disamping itu dia menyampaikan khabar baru dari Bonar dan menyampaian ke saya.

“Bang ada khabar buruk nih, Abang tenang dulu ya”, kata Jojor.
“Apa, kau jangan bikin jantung Abang berdebar debar”, jawab saya.
“Begini bang,……Abang tenang dulu, pacar Laxmi yang Dokter Manado itu datang lagi dan berubah fikiran, mau diberi marga Batak”, kata Jojor.
“Ha ha ha, oh begitu, nanti Abang tanya deh sama Laxmi ”, kata saya.
“Lho Abang ketawa, Abangg cinta ga sih sama dia sebenarnya ?”, tanya Jojor.
“Dari awal Abang sudah duga , kalau Laxmi itu cinta, tandanya dia galau saat si Dokter itu menjauh”, kata saya menjelaskan.
Lalu saya melanjutkan :
“Kalau tuntutan Bapaknya sudah dipenuhi, ya sudahlah jadi”.
“Jadi Abang ga apa apa”, tanya Jojor lagi.
“Ga lah adek, demi cinta, si Dokter rela namanya bermarga Dotulung Sihombing, sedang Dotulung itu sendiri artinya Pahlawan besar”, jawab saya.
Tidak lupa saya melampiaskan kekesalan saya dengan mengatakan : “ Belum jadi istri sudah mulai atur atur dan cemburu buta”, jawab saya.

Suatu malam Bonar mendatangi Jojor di asramanya dan berkata : “Dokter itu tahu kalau Laxmi pergi sama  Leo ke pulau Samosir, maka dia cepat cepat mendekati  Laxmi kembali, bahkan perwakilan keluarga Dotulong di Jakarta sudah datang menemui keluarga besar Laxmi di Semarang dan sekitarnya”.

“Emang kak Laxmi langsung mau ?”, kata Jojor penasaran.
“Tadinya Laxmi jengkel dan ga mau ketemu si Dokter, bingung, mau ikut kata hatinya atau mau ikut maunya Bapaknya, memilih Leo”, kata Bonar.
Lalu lanjut Bonar :”Witing tresno jalaran soko kulino, Laxmi itu cinta karena berteman sudah lama, ya dia ikuti kata hatinya. Soal Bapaknya, nanti lama lama akan ngerti”.
Rupanya berita ini sampai juga sama Lasma ketika Lasma menelpon saya berkata :”Leo, Laxmi sudah telpon ?”, tanyanya.
“Sudah lama dia ga telpon Las”, jawab saya.
“Ini surat Undangan perkawinannya untuk Leo dikirim ke saya, nanti kami antar”, kata Lasma.
“Ga usah repot Las, kirim via pos saja, 1 hari juga sampai”, kata saya.
“Datang ya Leo, ajak juga Jojor”, katanya.
“Ok Las, see you, bye”, kata saya.

Sudah tinggal seminggu sebelum hari perkawinan, Jojor menelpon : “Hallo, Abang datang ga pernikahan Laxmi”, tanyanya.
“Ga Jor, Jojor saja yang pergi sama Bonar, malas saya, Laxmi ga pernah hubungi saya”, jawab saya.
“Ëngga bang, kalau Abang ga datang, saya juga ga pergi”, jawab Jojor. “Malas pergi berduaan sama Bonar, Mahasiswa Abai itu”, katanya kemudian.

Ternyata 2 hari sebelum hari H, Laxmi akhirnya telpon juga.
“Hallo bang apa khabar, sudah sampai undangan ?”, tanyanya.
“Sudah Lax, maaf saya kebetulan ada tugas keluar kota besok”, jawab saya berbohong.
“Maafkan aku bang, maaf sekali lagi telah melukai hati Abang”, katanya.
Ïs Ok Lax, Abang sudah tahu, kalian saling mencintai, Abang itu cuma pelarian”, kata saya terus terang.
“Abang sih sifatnya selalu begitu kasih PHP terus sama cewek. Coba Abang cepat cepat melamar, mungkin kita sudah jadi”, katanya.
“Syukur kita ga jadi Lax, kalau saya cuma tempat pelarian”, kata saya.
“Datang ya bang, Bapak menunggu”, katanya, karena Bapaknya memang senang sama saya.
“Salam sama Bapak, bye”, kata saya lalu menutup telpon.
Dengan peristiwa ini untuk keempat kali saya merasa kehilangan.
Pertama, ditinggal  teman sepermainan sejak kecil, Pariban saya Longga di Sibolga, yang memilih mengikuti kata hatinya, menikah dengan pemuda pujaan hatinya.
Yang kedua, ditinggal oleh Sri Setianingsih, teman  sehati, mahasiswa Yogjakarta, mengikuti kata orang tua, karena perbedaan keyakinan.
Yang ketiga, gadis sederhana di kota Jambi, kesayangan Ibunya, kami berpisah karena masa silam orang tua yang gelap.
Yang keempat, oleh gadis Semarang, dia menikah dengan pujaan hatinya se Almamater,  suku Minahasa.
Yang berikutnya, apakah ini yang terakhir, entahlah.

Seminggu setelah pernikahan, Lasma datang ke Apartemenku dan bercerita tentang berlangsungsya pesta pernikahan Laxmi.
Pada hari H, dipelaminan Laxmi berbisik kepada kakaknya, Lasma :”Kak, bang Leo datang ga ?”.
“Ga datang nampaknya, emang kenapa ?”, tanya Lasma.
“Mau minta maaf kak, aku teringat sama Bapak dan Ibunya, baik kali sama aku di Samosir, menharapkan kami jadi”, kata Laxmi.
“Ya sudah, tenang aja kau, nanti saya akan ke Apartemennya segera”, kata Lasma.

Disuatu malam Lasma dan suaminya sengaja datang ke Apartemen, mengatakan :
“Kedatangan kami kesini Leo mau menyampaikan maaf kami, khususnya dari Laxmi”, kata Lasma.
“Ya sudah begitu suratan Las, mungkin Tuhan akan memilih yang lebih baik”, kata saya menghibur diri.
“Amin, amin”, kata Lasma dan suaminya serentak.
Sementara itu, skripsi Jojor sudah disetujui oleh Dosen pembimbing setelah koreksi seperlunya, tinggal menunggu waktu sidang. 
Dua minggu kemudian Paman telpon :”Leo, adikmu lulus, lulus yang terbaik katanya, entah apa cum cum begitu”, katanya.
“Oh itu cum Laude”, Tulang (Paman)”, jawab saya.
“Saya baru saja dapat telponnya, mungkin nanti malam telpon Leo kali”, katanya.

Lalu Paman bilang :”Gini Leo, kaulah nanti yang menghadiri wisuda adekmu ya”, kata Paman seraya menambahkan : ”Tulang kurang sehat berjalan jauh begitu”, katanya.
“Baiklah Tulang”, kata saya.
Hal yang sama juga disampaikan Jojor kepada saya pada malam harinya.

Perjuangan mengikuti pendidikan berakhir, tetapi menjalani hidup baru memasuki dunia pekerjaan akan segera dimulai.
Pengorbanan dengan hidup sederhana dan kekurangan selama kuliah kini serasa lepas dengan iIjazah ditangan. Ditambah lagi predikat Cum laude.

Saya coba menginformasikan  kelulusan Jojor ke perusahaan Peternakan Ayam Thailand itu. Mereka langsung mengatakan menerima Jojor menjadi Staf di Divisi Akunting.

Malam itu saya langsung menghubungi Jojor. “Hallo adek, Abang menghubungi  P.T.Cholappong, kau diterima di Divisi Akunting”, kata saya.
“Betul bang, hu hu hu”, Jojor menangis sekeras kerasnya.
“Thanks God”, katanya
Setelah tenang, dia memberitahu tanggal wisuda dan memastikan saya datang pakai Jas.
Entah kenapa pake jas, pada hal saya bukan orang tua.

Pada sessie foto, kami juga befoto berdua. Dia pake Toga dan Ijazah ditangan kirinya. Tangan kiri saya memeluk pinggangnya. Foto ini kemudian jadi Profile Jojor di Media sosial.


No comments:

Post a Comment