Monday, December 12, 2016

1. P A R I B A N




                                                                                  SIBOLGA

S
ejak masih kanak kanak saya dengan adik dan kakak perempuan sangat menghormati Paman, adiknya Ibu. Jika libur sekolah kami wajib mengunjungi mereka di kampung Simaninggir, 10 kilometer di diluar kota.

Itu adalah ajaran Ibu dan juga merupakan kebudayaan untuk senantiasa menghormati Paman. Jika lama tidak ketemu, ada rasa rindu dengan Paman sekeluarga. Sebaliknya Paman juga sangat mencintai ponakannya. Sering kami mendengar kata perumpamaan :”Paman pantang membuat ponakannya menitikkan air mata, nanti Ibunya akan bersedih”.
Kebetulan Paman mempunyai dua orang anak gadis yang saya panggil PARIBAN atau sepupu. Yang tertua bernama Lumongga yang biasa dipanggil Longga dan adiknya bernama Jojor. Mereka  memanggil saya Pariban juga.

Dalam adat kebudayaan Batak sangat dianjurkan agar Pariban dijadikan prioritas pertama menjadi istri agar tetap melanjutkan hubungan keluarga.

Ada kalanya kami menginap dirumah Paman atau Pariban itu yang menginap dirumah kami. Sehingga dari kecil kami sudah sering bermain bersama.
Begitu juga apabila libur sekolah, piknik keluar kota biasanya kedua keluarga akan pergi bersama sama.
Masih belum hilang dari memory ketika kami piknik bersama ke pantai Pandan, pantai berpasir putih, 10 kilometer dari Sibolga arah Selatan ke kota Padangsidempuan. Kami berkejar kejaran di pantai, main pasir membentuk rumah rumahan, membenamkan badan dalam pasir dan bermain air.

Tiba tiba ombak besar menyeret Longga ke laut dalam. Saya langsung terjun berenang, lalu menggendongnya ke pantai. Pertolongan pertama adalah mengeluarkan air dengan memompa perutnya berkali kali tetapi tidak berhasil. Lalu ada yang bilang :”Hisap dari mulutnya” dan saya lakukan. Diapun sadar setelah mengeluarkan air dari mulutnya.

Setelah kejadian itu, jika kami bercanda, saya sering menggodanya berkata : “Ingat ga waktu kau tenggelam ?”, kata saya. Dia biasa menjawab :Äbang jahat, Abang jahat”, katanya sambil melempar apa saja barang yang ada disekitarnya.
Begiu juga waktu piknik ke Bukit Kasih di kota Tarutung, 66 kilometer kearah Utara menuju Medan. Kami berdua terpisah dari rombongan waktu menaiki tangga tangga terjal menuju puncak bukit. Saya menarik tangannya untuk naik dan sesekali duduk di bangku bangku semen untuk sejenak beristirahat.
Kami juga masuk chapel kecil berdoa sendiri sendiri. Entah apa yang saya doakan sudah lupa. Entah apa yang dia doakan, dia tidak bersedia mengatakannya. Entahlah kalau dia mendoakan agar kami menjadi kekasih, entahlah. Tetapi waktu senyum, pipinya merona merah, malu.

Demikian juga ketika wisata ke Pulau Samosir, 266 kilometer kea rah Utara, kami berdua duduk bersebelahan. Badan sering bersenggolan karena jalan yang berkelok kelok tajam sejauh 66 kilometer antara Sibolga –Tarutung. Senang rasanya kalau melewati belokan tajam, badan kami bersenggolan cukup keras, apa lagi dia tidak berpegangan.

Begitu juga waktu menyeberang dengan kapal Ferry dari pelabuhan Ajibata ke Tutktuk Siadong di pulau Samosir, kami duduk berdekatan di bangku di buritan kapal dibawah langit biru sambil memandang takjub air danau yang beriak tenang, jernih seperti kaca, rumah, hotel berbentuk rumah adat dan bukit nan hijau didua sisi Danau Toba.
Semua pengalaman piknik itu tak terasa tertanam dibawah alam sadar.

Ketika pulang sekolah, sesekali saya mencuri curi sepeda motor kakak untuk menjemput Longga di sekolah dan mengajaknya makan Sate Padang atau Bakmi di tengah kota, kemudian mengantarkannya pulang ke rumah di kampung Simaninggir di puncak bukit. Saya tidak berani terlalu sering naik sepeda motor karena belum punya SIM.
Ada kalanya menjelang senja kami duduk di pinggir laut disebelah Pelabuhan mendengar suara ombak berdesir menghantam batu dipinggir laut, merasakan hembusan angin laut menampar wajah sambil menantikan senja, mentari jingga terbenam dihisap masuk ke tepian laut Teluk Tapian Nauli.
Begitulah hubungan kami hingga saya kelas 3 SMA dan Longga kelas tiga SMP dan adiknya Jojor kelas dua SMP.

Karena hubungan keluarga, wajar jika hubunga kami juga dekat, tetapi saya belum mengetahui apa itu artinya cinta. Apakah Longga yang masih remaja putrid itu sudah mengerti artinya cinta ?. Dari cara dia memandang dan cara dia tersenyum, saya juga tidak tahu. Kami memendam rasa sendiri sendiri.
Biasanya remaja putri belum berpacaran serius dimasa menjadi siswa SMP. Pria tanggung anak SMA pada umumnya juga belum berpacaran secara serius. Ada juga satu dua yang berpacaran, bahkan ada yang menikah walau masih siswa SMA. Tapi karena peristiwa langka, mungkin kecelakaan, terpaksa dinikahkan.

Orang tua kami rupanya memperhatikan hubungan pertemanan kami, hubungan yang cukup dekat sehingga mereka sering menggoda kami.
Hingga tibalah waktunya saya tammat dan lulus SMA dan Longga lulus SMP. Kami tidak sepatah katapun bilang sayang atau apalah. Karena Longga masih sangat belia.
Tetapi sejatinya, saya mulai merasakan akan kehilangan karena mau pergi kuliah jauh ke Yogjakarta. Entahlah kalau Longga merasakan hal yang sama, merasa kehilangann, saya tidak pernah menanyakan. Dugaanku mengatakan, dia juga akan kehilangan saya entah sebagai teman atau lebih dari teman. Entalah.

Waktunya pun tiba Bapak Ibu, Paman, Longga dan Jojor beserta adik kakak mengantarkan saya sampai ke bandara F.L.Tobing di Pinangsori.
Bapak, Ibu, Paman, Jojor, adik kakak semua memeluk cium. Tinggal giliran Longga belakangan. Semua mata memperhatikan kami.  Saya menyalami dan melihat matanya dalam dalam. Kupeluk dan kucium pipinya yang merah menahan malu.  “Selamat jalan bang:, katanya.
Semua sedih melihat saya membalikkan badan melambaikan tangan waktu menaiki tangga pesawat

No comments:

Post a Comment