IV. MIRIP NAOMI DARI CANDI
Sejak Sri Setianingsih dibopong suaminya ke Semarang, suasana rumah kos terasa sepi, diantara cawa tawa teman teman. Mbak Endang dan mbak Sumiyati berkata :”Leo kelihatan tambah kurus lho”, mereka saling lirik dan senyum. Entahlah apa betul beratku semakin berkurang. Saya tidak tahu. Yang jelas kefikiran saja.
Sejak itu saya memutuskan untuk pindah kos bersama teman teman se Fakultas di Wisma Slamet, dibilangan Lempuyangan. Suasana baru membuat saya betah bisa melupakan bintang dari kampus UII, gadis berambut panjang yang itu.
Salah satu sahabat dekat saya, Bonar Sitompul yang berasal dari pulau Samosir, warga Batak asli mengajari banyak hal tentang adat kebudayaan Batak yang pengetahuan saya sangat minim. Di Yogjakarta dia punya Saudara satu marga, seorang gadis yang lahir di Semarang. Kami bertiga sering pergi jalan bareng, nonton atau makan bersama terutama pada malam Minggu.
Dia, tinggi semampai, berkulit hitam manis, bolehlah diumpamakan seperti bintang model Naomi Campbel. Namanya Lasma, mahasiswa Fakultas Farmasi.
Lasma sering datang ke Wisma Slamet. Banyak teman yang suka
sama gadis yang beribu Solo ini.
Saya dan Bonar sering juga bertandang ke Asrama Putri di Jalan Pringgokusuman, tempat Lasma tinggal.
Suatu ketika Lasma yang traktir nonton bioskop sekalian makan mie bakso. Menurut Bonar orang tuanya berada. Sedang saya, kiriman uang sering terlambat datang. Akhirnya karena sering ketemu, dia jadi teman curhat. Dia sudah saya ceritakan semua hal tentang pertunangan saya yang dingin, tetapi saya tetap setia memakai cincin masih di jari manis saya. Dia juga saya ceritakan tentang pernikahan sahabat dekat saya, gadis Kauman, Sri Setianingsih.
Entah ide siapa, Lasma atau Bonar, saya tidak tahu, saya diajak ke Semarang. Meginap di rumah orang tuanya dibilangan Candi, yang punya usaha Toko Buku yang lumayan besar di Jalan Pandanaran.
Suatu malam Ayahnya bertanya :”Leo sudah semester berapa ?”.
“Tinggal satu semester pak”, jawab saya.
“Habis wisuda mau kemana” , katanya.
“Ke Jakarta pak, mencari kerjaan”. Bapaknya akhirnya berkata :
”Sering seringlah datang ke Semarang”.
“Ya pak, pasti”, sahut saya sok ramah.
Rupanya Ayahnya ingin Lasma, anak tertua, supaya cepat menikah, kalau bisa sesama suku Batak juga, mengingat Ibunya almarhumah warga Solo.
Seminggu kami di Semarang karena kebetulan kuliah libur Natal/Tahun baru. Ayahnya jadi sedikit kenal kharakter saya karena setiap malam kami selalu makan bersama anak anaknya.
Selama disana saya juga ikut membantu melayani toko karena kebetulan saya senang membaca buku buku. Jadi saya betah ikut membantu.
Disana ada juga adik perempuan, Namanya Laxmi, kuliah di Kedokteran Undip Semarang. Dia agak putih, seperti saya dan tingginya hampir sama dengan tinggi saya, mungkin DNA Ibunya. Sedang kakaknya, Lasma sedikit hitam manis, tetapi lebih tinggi dari saya, meniru Ayah dan Abangnya yang di Jakarta. Jika kami jalan berdua, saya agak sedikit minder juga. Tapi Lasma cuek saja.
Laxmi sering BBM berisi begini :”Bang kapan main ke Semarang”. Tak mungkin saya pergi ke Semarang tanpa Lasma. Adat kebudayaan Batak menyatakan adik pantang melangkahi kakaknya. Itu menjadi aib bagi keluarga. Adik baru menikah setelah kakaknya nikah atau paling tidak seijin kakaknya.
Kali kedua ke Semarang, satu keluarga wisata ke pantai Kartini di kota Jepara. Kami bebas saja main main di pasir pantai. Ayahnya hanya memandang kami dari jauh penuh keceriaan. Waktu yang cukup bagi Ayahnya mengenal kharakter saya.
Sebelum pulang kami mampir melihat furniture ukir yang artistik, yang banyak di ekspor ke Manca Negara..
Selama tiga hari di Semarang saya tetap ikut melayani Toko Buku. Saya tidak memperhatikan ketika seorang wanita berjilbab biru muda bertanya :
”Mas dimana buku Hukum Perdata”, katanya.
"Masya Allah....eh mbak Sri, apa kabar”.
“Suaminya mana ?”, tanyaku gagap. Dia tidak menjawab malah bertanya.
“Kok kerja disini ?”.
Lasma datang mengira ada masalah.
“Kenalin, ini Lasma pacar saya”, kata saya bergurau. Muka Lasma merona merah, malu.
“Abang ga jadi sama Pariban, anak pamannya ?”, tanya mbak Sri.
“Cincinnya mana ?”, kejarnya lagi. Lasma meninggalkan kami berdua. Dia tahu siapa itu Sri.
“Masih menggantung mbak”, kata saya membel diri.
“Panjenengan sudah senang, tambah gemuk sekarang, tapi tetap cantik kok”, saya menggoda. Panjenengan itu artinya Anda.
“Coba Abang dulu mau masuk Islam, kita yang jadi”, katanya.
“Begini bang, sekali sudah melingkar cincin di jari manis, tetaplah setia”, nasehatnya.
“Pakailah cincinmu bang”, katanya menyudahi kuliahnya.
"Jangan lupa kirim Undangan ya", sambil memberikan kartu nama suaminya.
"Boleh minta no HPnya ?".
"Ga boleh bang", katanya.
Setelah Sri membayar buku buku yang dibelinya, Lasma bergumam.
“Cantik juga ya bang”, katanya menggoda.
“Kenapa bilang saya pacar Abang ?”, tanyanya.
“Cuma main Las, kalau saya bisa dapat cewek cakep”, kata saya sambil menjauh. Dia pun mengejar saya sampai berhenti dekat Ayahnya.
--------
Saya dan Bonar sering juga bertandang ke Asrama Putri di Jalan Pringgokusuman, tempat Lasma tinggal.
Suatu ketika Lasma yang traktir nonton bioskop sekalian makan mie bakso. Menurut Bonar orang tuanya berada. Sedang saya, kiriman uang sering terlambat datang. Akhirnya karena sering ketemu, dia jadi teman curhat. Dia sudah saya ceritakan semua hal tentang pertunangan saya yang dingin, tetapi saya tetap setia memakai cincin masih di jari manis saya. Dia juga saya ceritakan tentang pernikahan sahabat dekat saya, gadis Kauman, Sri Setianingsih.
Entah ide siapa, Lasma atau Bonar, saya tidak tahu, saya diajak ke Semarang. Meginap di rumah orang tuanya dibilangan Candi, yang punya usaha Toko Buku yang lumayan besar di Jalan Pandanaran.
Suatu malam Ayahnya bertanya :”Leo sudah semester berapa ?”.
“Tinggal satu semester pak”, jawab saya.
“Habis wisuda mau kemana” , katanya.
“Ke Jakarta pak, mencari kerjaan”. Bapaknya akhirnya berkata :
”Sering seringlah datang ke Semarang”.
“Ya pak, pasti”, sahut saya sok ramah.
Rupanya Ayahnya ingin Lasma, anak tertua, supaya cepat menikah, kalau bisa sesama suku Batak juga, mengingat Ibunya almarhumah warga Solo.
Seminggu kami di Semarang karena kebetulan kuliah libur Natal/Tahun baru. Ayahnya jadi sedikit kenal kharakter saya karena setiap malam kami selalu makan bersama anak anaknya.
Selama disana saya juga ikut membantu melayani toko karena kebetulan saya senang membaca buku buku. Jadi saya betah ikut membantu.
Disana ada juga adik perempuan, Namanya Laxmi, kuliah di Kedokteran Undip Semarang. Dia agak putih, seperti saya dan tingginya hampir sama dengan tinggi saya, mungkin DNA Ibunya. Sedang kakaknya, Lasma sedikit hitam manis, tetapi lebih tinggi dari saya, meniru Ayah dan Abangnya yang di Jakarta. Jika kami jalan berdua, saya agak sedikit minder juga. Tapi Lasma cuek saja.
Laxmi sering BBM berisi begini :”Bang kapan main ke Semarang”. Tak mungkin saya pergi ke Semarang tanpa Lasma. Adat kebudayaan Batak menyatakan adik pantang melangkahi kakaknya. Itu menjadi aib bagi keluarga. Adik baru menikah setelah kakaknya nikah atau paling tidak seijin kakaknya.
Kali kedua ke Semarang, satu keluarga wisata ke pantai Kartini di kota Jepara. Kami bebas saja main main di pasir pantai. Ayahnya hanya memandang kami dari jauh penuh keceriaan. Waktu yang cukup bagi Ayahnya mengenal kharakter saya.
Sebelum pulang kami mampir melihat furniture ukir yang artistik, yang banyak di ekspor ke Manca Negara..
Selama tiga hari di Semarang saya tetap ikut melayani Toko Buku. Saya tidak memperhatikan ketika seorang wanita berjilbab biru muda bertanya :
”Mas dimana buku Hukum Perdata”, katanya.
"Masya Allah....eh mbak Sri, apa kabar”.
“Suaminya mana ?”, tanyaku gagap. Dia tidak menjawab malah bertanya.
“Kok kerja disini ?”.
Lasma datang mengira ada masalah.
“Kenalin, ini Lasma pacar saya”, kata saya bergurau. Muka Lasma merona merah, malu.
“Abang ga jadi sama Pariban, anak pamannya ?”, tanya mbak Sri.
“Cincinnya mana ?”, kejarnya lagi. Lasma meninggalkan kami berdua. Dia tahu siapa itu Sri.
“Masih menggantung mbak”, kata saya membel diri.
“Panjenengan sudah senang, tambah gemuk sekarang, tapi tetap cantik kok”, saya menggoda. Panjenengan itu artinya Anda.
“Coba Abang dulu mau masuk Islam, kita yang jadi”, katanya.
“Begini bang, sekali sudah melingkar cincin di jari manis, tetaplah setia”, nasehatnya.
“Pakailah cincinmu bang”, katanya menyudahi kuliahnya.
"Jangan lupa kirim Undangan ya", sambil memberikan kartu nama suaminya.
"Boleh minta no HPnya ?".
"Ga boleh bang", katanya.
Setelah Sri membayar buku buku yang dibelinya, Lasma bergumam.
“Cantik juga ya bang”, katanya menggoda.
“Kenapa bilang saya pacar Abang ?”, tanyanya.
“Cuma main Las, kalau saya bisa dapat cewek cakep”, kata saya sambil menjauh. Dia pun mengejar saya sampai berhenti dekat Ayahnya.
--------
Usai wisuda, saya berangkat ke Jakarta, mencari pekerjaan.
Pada kesempatan lain, tanpa setahu saya, Lasma juga berhenti kuliah karena
diterima bekerja di Apotik dibilangan Petojo, Jakarta Pusat, milik sahabat Abangnya.
Pertemanan kami terus berlanjut seperti biasa, menganggap dia sahabat keluarga. Malam Minggu kami sering bersama. Bahkan sering bertamu kerumah Abangnya yang sudah berkeluarga dengan wanita Israel, yang tinggal di Jl. Kebon Sirih II, Jakarta Pusat.
Lama lama Lasma juga sudah merasa usahanya untuk mengambil hati saya tidak berhasil. Pertama, saya memang sudah bertunangan. Kedua, hati masih gersang, ditinggal pergi oleh sahabat lama berjilbab biru muda, Sri Setianingsih.
Diapun membuka diri kepada pria lain, didekati seorang pegawai Bank BUMN. Yang anehnya, tinggi kami hampir sama. Kalau kami jalan bertiga,dia seperti menuntun 2 anak kecil.
Akhirnya mereka nikah. Tidak ada rasa menyesal, tidak ada luka yang perlu diperban. Lasma mendapatkan pria idaman.
Sebelum mendapat pekerjaan saya bertekad tidak mau pulang. Karena tahu pasti jika pulang pasti akan dinikahkan. Mau kasih makan apa nanti jika belum bekerja.
Beruntung hanya tiga bulan menganggur, sudah dapat pekerjaan dibidang karet. Tapi perlu satu tahun baru bisa dapat cuti selama 2 minggu. Setelah itu saya baru berencana untuk pulang.
Sebagai anak tunggal, saya ingin membahagiakan Orang tua yang mimpi segera mendapatkan cucu untuk meneruskan Silsilah marga. Tanpa anak laki laki, garis keturunan bisa berhenti di generasi saya. Saya juga yakin, Longga sebagai anak tertua akan mengikuti permintaan orang tuanya karena Longga selama ini anak penurut.
Pertemanan kami terus berlanjut seperti biasa, menganggap dia sahabat keluarga. Malam Minggu kami sering bersama. Bahkan sering bertamu kerumah Abangnya yang sudah berkeluarga dengan wanita Israel, yang tinggal di Jl. Kebon Sirih II, Jakarta Pusat.
Lama lama Lasma juga sudah merasa usahanya untuk mengambil hati saya tidak berhasil. Pertama, saya memang sudah bertunangan. Kedua, hati masih gersang, ditinggal pergi oleh sahabat lama berjilbab biru muda, Sri Setianingsih.
Diapun membuka diri kepada pria lain, didekati seorang pegawai Bank BUMN. Yang anehnya, tinggi kami hampir sama. Kalau kami jalan bertiga,dia seperti menuntun 2 anak kecil.
Akhirnya mereka nikah. Tidak ada rasa menyesal, tidak ada luka yang perlu diperban. Lasma mendapatkan pria idaman.
Sebelum mendapat pekerjaan saya bertekad tidak mau pulang. Karena tahu pasti jika pulang pasti akan dinikahkan. Mau kasih makan apa nanti jika belum bekerja.
Beruntung hanya tiga bulan menganggur, sudah dapat pekerjaan dibidang karet. Tapi perlu satu tahun baru bisa dapat cuti selama 2 minggu. Setelah itu saya baru berencana untuk pulang.
Sebagai anak tunggal, saya ingin membahagiakan Orang tua yang mimpi segera mendapatkan cucu untuk meneruskan Silsilah marga. Tanpa anak laki laki, garis keturunan bisa berhenti di generasi saya. Saya juga yakin, Longga sebagai anak tertua akan mengikuti permintaan orang tuanya karena Longga selama ini anak penurut.
No comments:
Post a Comment