Wednesday, August 10, 2016

NOVEL : KAWIN LARI @ LARI DARI BAYANG PARIBAN (5)




V. KAWIN LARI

Kesaksian Jojor.
Jojor, adiknya Longga, tidak pernah mau diam. Dia selalu memberi informasi lewat BBM tentang kakaknya yang akhir akhir ini agar aneh aneh sifatnya.
Disuatu hari Longga mengajak adiknya belanja ke Sibolga. Kadang membeli baju, bahkan sebuah koper agak besar.
“Kak untuk apa beli koper”, tanya saya.
“Buat siap siap saja Jor”, jawabnya.
“Baju kakak juga baru baru, aku ga dibeliin, pada hal Natal masih lama.
“Ya sudah, nanti kakak belikan”, katanya senyum.

Bapak dan Ibu belum tahu kelakuan kakak yang aneh ini. Kakak selalu sembunyi sembunyi.
Kalau soal pulang sekolah sering lama sampai di rumah. Alasannya selalu les atau belajar bersama.
Semua ini disampaikan kepada saya lewat BBM.
Saya selalu menjawab :”Sabarlah adek”.
Saya pun bilang :”Kalau kakakmu memang tidak ingin meneruskan pertunangan, ya sudah”.
Jojor berkomentar :"Abang kok begitu, Jojor jadi bingung", katanya.
Dengan sebal dia menutup BBMnya :"Abang cinta ga sih ?"
Rasanya tidak etis mengatakan kepada sorang gadis bahwa cinta bisa bersemi kemudian.

Memang hubungan kami belum lama, belum saling kenal pribadi masing masing. Waktu masih kanak kanak kami sering bertemu, baik di rumah mereka di Simaninggir maupun di rumah kami di Sibolga. Sedang hubungan Longga dengan  Poltak sebelum kenal saya sudah cukup lama, 3 tahun. Ini bukan cinta monyet lagi namanya.

 Suatu ketika  saya BBM Jojor bilang begini : “Kalau ga kakaknya ya adiknya”.
Jojor bertanya :”Apa menurut Adat boleh bang ?”.
“He he Cuma bercanda”, jawabku seraya  memberi contoh yang biasa terjadi di kampung :
”Jika suami kakak meninggal, adiknya sebagai calon pengganti. Itu namanya Manoroni”, jawabku. Entahlah apa dalam fikiran Jojor setelah membaca BBM saya.

Surat Ibu saya.
Ibu saya yang sudah tua tidak tahu apa itu SMS apa lagi BBM. Dia taunya HP itu ya unuk bicara. Titik. Jadi dia kirim surat tentang kerisauannya tentang pertunangan kami. Isi suratnya begini :

Sibolga, 15 Maret 19xx

Horas Leo,

Sehat sehatnya kami di kampung sama adek adekmu. Apa kabarmu sekarang. Bagaimana kerjamu ? Apa kau sudah boleh pulang ? Kami juga sudah rindu sama kau.
Sudah dua tahun, kalian bertunangan. Kaupun sudah tammat. Apa lagi. Malu kita sama pamanmu.
Jangan pula kau fikir biaya pestamu. Beresnya itu. Kami pun masih punya uang.
Lekaslah kau pulang ya

Horas,

Mamamu

Tidak kujawab langsung surat Ibu saya. Saya berkomunikasi dulu, menelpon tunangan saya Longga.

“Hallo, apa kabar sayang”
”Baik bang, gimana kabar Abang ?”
”Baik baik saja, namanya baru belajar kerja”
”Kapan Abang pulang ?”
“Kalo aturannya, setahun kerja baru boleh cuti 2 minggu”
“Ohh begitu”
“Kapan rencana pesta kita ?”
”Namboru mendesak terus”. Namboru, Ibu saya.
” Abang coba ngumpulin uang dulu untuk kita ya sayang”
“Ya bang”
“Salam untuk Jojor dan semua ya. Salam juga sama Poltak”
“Ahh Abang kok gitu”
”Bye”.

Jadi Longga itu tenang tenang saja. Tidak mendesak desak. Dia juga tidak bertanya dimana nanti akan tinggal kalau sudah menikah.

Kawin lari.
Pada suatu malam waktu saya sedang survey karet ke Jambi, hujan lebat, air sungai Batanghari meluap Sore hari sudah gelap, halilintar sambar menyambar, saya menerima telpon dari Jojor.
“Bang ada kabar buruk, si kakak tidak pulang sudah jam 2 pagi”, katanya. Belum sempat saya bertanya dia nyerocos terus.
“Dia meninggalkan surat dikamarnya”, dia mangalua, kawin lari bang”, sambungnya.
“Dengan Poltak ?”, tanya saya.
“Ya bang”, suaranya serak karena menangis.
“Bapak pingsan bang, setelah tahu mereka mangalua.
“Tapi sekarang sudah siuman, terbaring dikamarnya.

Lalu Jojor bercerita. Ditengah malam, waktu seisi rumah sudah tertidur, mereka diam diam menyelinap naik mobil Jip. Malam itu seisi rumah tidak ada yang bisa tidur hingga pagi.
Ibu tadinya tidak begitu setuju dengan pertunangan itu, tetapi tidak berani menyalahkan Bapak karena dia sakit jantung. Emang Bapak yang sudah janjian dengan kakaknya, Ibu saya. Jiika Ibu ungkit, Bapak bisa jantungan dan mati..

Longga meninggalkan sepucuk surat berbunyi :

Maafkan saya Bapak, Ibu.
Kami ke Pulau Samosir, Danau Toba, ke kampung Poltak. Kami bersama 2 orang teman perempuan. Dan kami tinggal sementara dirumah pengurus Gereja di desa Tuktuk Siadong.

Tolong sampaikan maaf saya bang Leo dan kedua Amang dan namboru

Disini saya titip cincin.

Sekali lagi mohon maaf,

Lumongga.

Mangalua atau kawin lari tidak melanggar Adat asalkan didampingi teman wanita dan tinggal dirumah Pengurus Gereja.

Seminggu kemudian Jojor kirim BBM lagi berbunyi begini :
“Bang sudah seminggu Bapak sakit, tapi sudah ke Dokter, katanya tidak apa apa”.
Kujawab :”Begitulah orang kampung maunya masih mengikuti Adat, kebiasaan kuno, beginilah akibatnya”.

Bapak dan Ibu saya terpukul. Tapi lebih malu lagi paman dan istrinya di Simaninggir. Orang sekampung akan mengata ngatai mereka. Maunya Sarjana, tapi jadinya tentara. Maunya pariban tapi dia cinta sama tentara. Tapi lama lama gossip itu akan berlalu.
Orang Medan biang “Sakitnya ga seberapa, malunya ini”. Orang Jakarta bilang :”Sakitnya itu disini”.
Saya sendiri merasa terpukul, malu dan kasihan Ibu dan Bapak saya. Saya yang malah menasehati Ibu saya agar tidak perlu malu sama keluarga besar kami. Namanya saja Tunangan, berjanji. Bisa saja janji tidak ditepati. Lagi pula, belum nikah di Gereja dan belum dilaksanakan upacara Adat Batak yang mengundang semua keluarga besar kedua fihak dan juga kenalan seluruh kampung dan para sahabat lain.

Cerita Jojor masih bersambung. 
Setelah paman sembuh, mereka turun ke Sibolga. Kali ini membawa makanan beserta Ikan emas. Sebelum acara makan malam dimulai paman berkata :” Kami mohon maaf yang sebesar besarnya atas kelakuan Longga, dengan permintaan agar berkenan memaafkannya dan sekaligus mendoakan Longga dan keturunannya kelak.
Seperti  ikan yang disuguhkan, seperti itulah Namborunya mengiring iring Longga dan keturunannya kelak.

Paman berkata sama kakaknya, Ibu saya :”Kita sudah berusaha menepati janji kita ito, tetapi Tuhan berkata lain. Janganlah disesali. Ito, panggilan untuk kakak atau adiknya.
Setelah itu cincin diserahkan kembali ketangan kakaknya, Ibu saya.

Saya sebenarnya pada awalnya kurang setuju dengan Tunangan dengan Pariban yang belum saya kenal benar. Tetapi untuk menghormati Oran tua, tidak ada salahnya. Toh nanti cinta bisa bersemi kemudian. Mana Longga juga cantik, tidak malu dibawa ke kota besar. Lagi pula saya belum punya pacar.
Kalau Sri Setianingsih itu hanya teman biasa, putri seorang ulama muslim.

Ini pelajaran berharga bagi para Orang tua bahwa zaman sudah berubah. Biarkan anak anak memilih calon pendampingnya walaupun bebeda suku. Baik untuk bangsa.




Waktu kembali ke Jakarta, saya cerita langsung kepada sahabat lama Lasma dan suaminya pada saat kami makan bersama di Pecenongan, di kafe pinggir jalan yang banyak terdapat disana. Lasma hanya menepuk nepuk bahu saya dan berkata :"Sabarlah bang, memang bukan jodoh". Dan diamini suaminya dengan berkata :"Pasti Tuhan memilih yang terbaik", katanya.

Rupanya berita ini langsung diteruskan kepada adiknya, Laxmi di Semarang. Mahasiswa kedokteran itu langsung menelpon saya :"Bang jangan sedih, masih banyak wanita lain, mau Batak, Jawa gampanglah, Abang kan sudah kerja". Sebelum menutup telponnya dia mengatakan :

"Kapan ke Semarang, Bapak juga bertanya tentang Abang", katanya. Saya juga cuma bilang :
"Terima kasih Laxmi, sampaikan salam buat Bapak ya"', kata saya.

Beruntung saya lagi sibuk dalam survey karet di Jambi. Seminggu kemudian kembali ke kantor di Jalan Menteng Raya, Jakarta. Tugas selanjutnya akan berangkat ke Kuala Lumpur, Malaysia untuk job training di fabrik karet Guthrie Sdn Bhd di perkebunan karet di sekitar Port Klang, disebelah pantai Barat semenanjung.

Cukup sibuk menyiapkan laporan ke Kantor sehingga terlupakan kesedihan karena kawin larinya Longga. Adiknya Jojor juga tidak dapat menghubungi saya selama di Malaysia.


 





No comments:

Post a Comment