VI
MATA HATI YANG TERLUKA
Setelah dua minggu job training di fabrik karet milik Guthrie Sdn Bhd di Port Klang, Malaysia, saya pulang ke Jakarta dan menyerahkan laporan tertulis.
Setelah membaca laporan itu kemudian saya, yang baru lulus S1, ditugaskan menjadi Pjs Kepala fabrik di Jambi. Fabriknya terletak di pinggir Sungai Batanghari yang dikenal dengan sebutan “Seberang”, karena lokasinya memang di kampung di seberang kota Jambi.
Karena saya sangat sibuk mengaplikasikan hasil job di Malaysia, fikiran tentang Pariban yang kawin lari terlupa sejenak.Tetapi jika malam Minggu tiba, dikala sendiri, termenung, terbayang mata Longga yang berbinar seperti bintang, paribanku, anak paman yang cantik alami, tanpa polesan. Jadi ingat rencana perkawinan kami, membayangkan kami akan honey moon ke Singapur dan Kuala Lumpur seperti yang baru saya lakukan yaitu segera setelah pesta besar, pesta Adat di kampung.
Untuk mengurangi kegalauan, saya bergabung dengan Paduan Suara Pemuda di Gereja.
Dari banyak gadis peserta tapi tidak seorangpun yang memikat hatiku. Banyak yang berias menor, berbaju kurang bahan. Rasanya tidak ada mata yang bersinar seperti paribanku, Longga.
Tetapi dalam beberapa hari Minggu terakhir, mata saya selalu memperhatikan seorang Ibu dan gadisnya yang masih relatif muda. Setiap pulang Gereja, Ibu dan anak gadisnya yang pakaiannya baru tapi dari bahan sederhana, juga tanpa polesan. Mereka selalu berjalan bergandengan tangan.
Suatu Minggu sehabis Gereja saya memberanikan diri untuk berkenalan. “Leo”, kata saya. “Eva”, katanya sambil bersalaman. Wajahnya merona merah dan tertunduk malu malu. Dia mungkin sudah tahu saya, anggota Paduan Suara yang setiap hari Minggu tampil menyanyi.
Mobil saya hentikan didepan mereka. Lalu saya turun dan berkata sesopan orang Jawa :
" Boleh aku antar ?", kataku menawarkan diri,. karena mereka berjalan kaki sampai ke halte Angkutan umum.
Dengan segan mereka akhirnya mau naik. Eva duduk didepan sedang Ibunya di kursi belakang. Kuantar mereka ke rumahnya di sekitar simpang tiga Sipin, agak masuk kedalam, mobil tidak bisa masuk.Saya naik mobil Land rover warna hijau tentara, milik perusahaan.
Sejak saat itu saya hampir setiap malam Minggu appel ke rumahnya. Pulang Gereja juga saya antar. Mereka hanya bertiga, Ibunya, Eva dan adiknya laki laki. Sedang Ayahnya sudah meninggal.
Beberapa kali pesta Ulang tahun teman dia juga saya ajak, kadang pulang hingga larut malam. Selalu ada acara dansanya. Karena masih muda, dia belum bisa berdansa Jadi kami hanya begoyang goyang pelan sambil berpegangan tangan, bahu atau pinggang, terutama jika musiknya slow.
Setelah dua minggu job training di fabrik karet milik Guthrie Sdn Bhd di Port Klang, Malaysia, saya pulang ke Jakarta dan menyerahkan laporan tertulis.
Setelah membaca laporan itu kemudian saya, yang baru lulus S1, ditugaskan menjadi Pjs Kepala fabrik di Jambi. Fabriknya terletak di pinggir Sungai Batanghari yang dikenal dengan sebutan “Seberang”, karena lokasinya memang di kampung di seberang kota Jambi.
Karena saya sangat sibuk mengaplikasikan hasil job di Malaysia, fikiran tentang Pariban yang kawin lari terlupa sejenak.Tetapi jika malam Minggu tiba, dikala sendiri, termenung, terbayang mata Longga yang berbinar seperti bintang, paribanku, anak paman yang cantik alami, tanpa polesan. Jadi ingat rencana perkawinan kami, membayangkan kami akan honey moon ke Singapur dan Kuala Lumpur seperti yang baru saya lakukan yaitu segera setelah pesta besar, pesta Adat di kampung.
Untuk mengurangi kegalauan, saya bergabung dengan Paduan Suara Pemuda di Gereja.
Dari banyak gadis peserta tapi tidak seorangpun yang memikat hatiku. Banyak yang berias menor, berbaju kurang bahan. Rasanya tidak ada mata yang bersinar seperti paribanku, Longga.
Tetapi dalam beberapa hari Minggu terakhir, mata saya selalu memperhatikan seorang Ibu dan gadisnya yang masih relatif muda. Setiap pulang Gereja, Ibu dan anak gadisnya yang pakaiannya baru tapi dari bahan sederhana, juga tanpa polesan. Mereka selalu berjalan bergandengan tangan.
Suatu Minggu sehabis Gereja saya memberanikan diri untuk berkenalan. “Leo”, kata saya. “Eva”, katanya sambil bersalaman. Wajahnya merona merah dan tertunduk malu malu. Dia mungkin sudah tahu saya, anggota Paduan Suara yang setiap hari Minggu tampil menyanyi.
Mobil saya hentikan didepan mereka. Lalu saya turun dan berkata sesopan orang Jawa :
" Boleh aku antar ?", kataku menawarkan diri,. karena mereka berjalan kaki sampai ke halte Angkutan umum.
Dengan segan mereka akhirnya mau naik. Eva duduk didepan sedang Ibunya di kursi belakang. Kuantar mereka ke rumahnya di sekitar simpang tiga Sipin, agak masuk kedalam, mobil tidak bisa masuk.Saya naik mobil Land rover warna hijau tentara, milik perusahaan.
Sejak saat itu saya hampir setiap malam Minggu appel ke rumahnya. Pulang Gereja juga saya antar. Mereka hanya bertiga, Ibunya, Eva dan adiknya laki laki. Sedang Ayahnya sudah meninggal.
Beberapa kali pesta Ulang tahun teman dia juga saya ajak, kadang pulang hingga larut malam. Selalu ada acara dansanya. Karena masih muda, dia belum bisa berdansa Jadi kami hanya begoyang goyang pelan sambil berpegangan tangan, bahu atau pinggang, terutama jika musiknya slow.
Karena sering bersama, banyaklah omongan tentang keluarga itu. Saya kira mereka hanya iri. Karena banyak yang ingin berteman dengan saya, jomblo yang punya mobil.
Banyak yang heran kenapa gadis sederhana itu. Saya hanya kagum melihat mesranya hubungan Ibu dan anak gadisnya. Ingin rasanya ikut merasakan.
Ditengah kesibukan mulai dari membeli bahan baku karet ke
hulu, ke kampung kampung, proses produksi hingga persiapan eksport ke Hamburg,
Jerman dan Milano, Italy , saya belum bisa pulang kampung, walau sudah sering
dipesan untuk pulang.
Akhirnya Ibu dan Bapak saya yang datang ke Jambi, katanya karena sudah rindu. Datang jauh jauh, satu malam naik Bus dari Sibolga ke Jambi pasti tidak hanya karena kangen.
Pada malam pertama Bapak dan Ibu menyampaikan isi hatinya dengan bercerita tentang kawin lari tunanganku.
Kemudian Ibu berkata :
” Bagaimana kalau kau nikah sama Jojor, adiknya Longga ?”.
Seperti demam rasanya badan saya panas mendengarnya. Tapi saya berusaha dengan tenang dan hati dingin menjawab :
” Kita sudah dibuat malu sama si Longga, sekarang dengan adiknya”.
“Dengar dulu”, kata Bapak.
“Tulangmu sama Jojor mau kalau kalian langsung nikah dan pesta Adat”, katanya.
Ibu menimpali sambil tertawa :” Dia juga tidak kalah cantik”.
“Atau kau ada calon lain ?”, kata Ibu. Setelah membuang sirih pinang dari mulutnya, Ibu melanjutkan :”Kami sudah ingin punya cucuk anak laki laki, penerus marga kita”, katanya.
“Belum ada”, jawab saya pendek
Hanya terbayang senyumnya Laxmi di Semarang yang selalu bertanya kapan saya datang ke Semarang..
“Berilah saya waktu berfikir, saya tidak bisa menjawab sekarang, tidak akan berjanji”, jawabku perlahan untuk mengulur waktu.
“Tolong jangan berjanji apa apa sama paman”.
“Nanti hubungan kita jadi tidak baik, pada hal aku sangat menghormai paman”, kataku sedih mengingat kebaikan paman dan istrinya selama ini, sejak saya masih anak anak.
Saya juga tidak berani mengatakan ada gadis di Semarang yang aku suka. Saya kuatir, Laxmi masih lama kuliahnya, apa lagi di Fakultas Kedokteran. Bisa 2 - 3 tahun lagi baru jadi dokter, belum lagi masa PTT ke daerah tepencil. Tak mungkin Orang tua sanggup menunggu selama itu.
Sedang Eva, gadis Jambi yang baru kukenal belum tahu bagaimana kharakternya, latar belakang orang tuanya. Masih jauh. Akhirnya dengan sedih Bapak dan Ibu pulang dengan tangan hampa.
Semakin lama rumor, bisik bisik tentang keluarga Eva semakin kencang saja. Ah saya fikir itu risiko jadi orang terkenal, banyak saja yang iri lihat orang senang. Tapi yang membuat saya bertanya tanya bukan tentang kehidupan keluarga itu yang sangat sederhana. Tetapi ada issue yang selalu mengganggu fikiranku. Ada issue yang menyatakan kakeknya Eva adalah anggota Partai terlarang dan dibuang ke Pulau Buru. Dan Ayahnya Eva nampaknya simpatisan juga.
Sebenarnya peristiwa itu sudah lama berselang. Kenapa orang orang masih terus terusik. Keturunannya mungkin tidak tahu menahu atas apa yang telah terjadi di era tahun 1960an itu
.
Disuatu malam minggu saat mau pulang malam dengan sangat hati hati saya bertanya :
“Maaf ya Eva, apa kakek…..”. Saya tidak berani melanjutkan. Tapi Eva sudah menduga isi pertanyaan saya.
Dia berkata :” Benar bang”, sambil mengusap air matanya. Sayapun terdiam, tak bisa berkata apa apa lagi.
Waktu naik ke mobil badannya lemas, air matanya tidak berhenti menetes.
Saya terus menghibur :” Sudahlah Eva, jangan difikirin”.
Diluar dugaan saya terkejut :”Abang mau putus ?”.
“Saya ga pernah bilang begitu”, kata saya.
Dia mengetahui isi hati saya. Mata hatinya terluka, hati perempuan memang halus, tahu kalau kita berbohong.
Turun dari mobil, saya terpaksa papah dia melewati jalan setapak sedikit menanjak sampai rumahnya.
Ibunya yang buka pintu berkata :”Kenapa Eva, sakit apa ?”, kata Ibunya kaget.
“Mungkin masuk angin bu, ketika kami duduk dipinggir sungai Batanghari”, kata saya mencari alasan asal asalan.
Saya antar dia sampai ke kamarnya. Ibunya menggosok gosokkan obat masuk angin. Saya tetap di kamarnya berduaan untuk beberapa lama. Setelah tenang, saya pamit pulang.
Perih ulu hati melihat dia lemas terkulai, hati saya tidak tega meninggalkannya. Tapi membayangkan pandangan orang saya jadi bingung. Alangkah kejamnya saya.
Malam Minggu berikutnya, saya tidak datang lagi ke rumah Eva. Ke Gereja pun saya absen untuk sementara. Dia memang SMS bertanya :”Bang kenapa ga datang ?”. “Maaf Eva saya lagi sibuk banget, malah tidur di fabrik, di seberang”, kilahku berdalih.
Akhirnya Ibu dan Bapak saya yang datang ke Jambi, katanya karena sudah rindu. Datang jauh jauh, satu malam naik Bus dari Sibolga ke Jambi pasti tidak hanya karena kangen.
Pada malam pertama Bapak dan Ibu menyampaikan isi hatinya dengan bercerita tentang kawin lari tunanganku.
Kemudian Ibu berkata :
” Bagaimana kalau kau nikah sama Jojor, adiknya Longga ?”.
Seperti demam rasanya badan saya panas mendengarnya. Tapi saya berusaha dengan tenang dan hati dingin menjawab :
” Kita sudah dibuat malu sama si Longga, sekarang dengan adiknya”.
“Dengar dulu”, kata Bapak.
“Tulangmu sama Jojor mau kalau kalian langsung nikah dan pesta Adat”, katanya.
Ibu menimpali sambil tertawa :” Dia juga tidak kalah cantik”.
“Atau kau ada calon lain ?”, kata Ibu. Setelah membuang sirih pinang dari mulutnya, Ibu melanjutkan :”Kami sudah ingin punya cucuk anak laki laki, penerus marga kita”, katanya.
“Belum ada”, jawab saya pendek
Hanya terbayang senyumnya Laxmi di Semarang yang selalu bertanya kapan saya datang ke Semarang..
“Berilah saya waktu berfikir, saya tidak bisa menjawab sekarang, tidak akan berjanji”, jawabku perlahan untuk mengulur waktu.
“Tolong jangan berjanji apa apa sama paman”.
“Nanti hubungan kita jadi tidak baik, pada hal aku sangat menghormai paman”, kataku sedih mengingat kebaikan paman dan istrinya selama ini, sejak saya masih anak anak.
Saya juga tidak berani mengatakan ada gadis di Semarang yang aku suka. Saya kuatir, Laxmi masih lama kuliahnya, apa lagi di Fakultas Kedokteran. Bisa 2 - 3 tahun lagi baru jadi dokter, belum lagi masa PTT ke daerah tepencil. Tak mungkin Orang tua sanggup menunggu selama itu.
Sedang Eva, gadis Jambi yang baru kukenal belum tahu bagaimana kharakternya, latar belakang orang tuanya. Masih jauh. Akhirnya dengan sedih Bapak dan Ibu pulang dengan tangan hampa.
Semakin lama rumor, bisik bisik tentang keluarga Eva semakin kencang saja. Ah saya fikir itu risiko jadi orang terkenal, banyak saja yang iri lihat orang senang. Tapi yang membuat saya bertanya tanya bukan tentang kehidupan keluarga itu yang sangat sederhana. Tetapi ada issue yang selalu mengganggu fikiranku. Ada issue yang menyatakan kakeknya Eva adalah anggota Partai terlarang dan dibuang ke Pulau Buru. Dan Ayahnya Eva nampaknya simpatisan juga.
Sebenarnya peristiwa itu sudah lama berselang. Kenapa orang orang masih terus terusik. Keturunannya mungkin tidak tahu menahu atas apa yang telah terjadi di era tahun 1960an itu
.
Disuatu malam minggu saat mau pulang malam dengan sangat hati hati saya bertanya :
“Maaf ya Eva, apa kakek…..”. Saya tidak berani melanjutkan. Tapi Eva sudah menduga isi pertanyaan saya.
Dia berkata :” Benar bang”, sambil mengusap air matanya. Sayapun terdiam, tak bisa berkata apa apa lagi.
Waktu naik ke mobil badannya lemas, air matanya tidak berhenti menetes.
Saya terus menghibur :” Sudahlah Eva, jangan difikirin”.
Diluar dugaan saya terkejut :”Abang mau putus ?”.
“Saya ga pernah bilang begitu”, kata saya.
Dia mengetahui isi hati saya. Mata hatinya terluka, hati perempuan memang halus, tahu kalau kita berbohong.
Turun dari mobil, saya terpaksa papah dia melewati jalan setapak sedikit menanjak sampai rumahnya.
Ibunya yang buka pintu berkata :”Kenapa Eva, sakit apa ?”, kata Ibunya kaget.
“Mungkin masuk angin bu, ketika kami duduk dipinggir sungai Batanghari”, kata saya mencari alasan asal asalan.
Saya antar dia sampai ke kamarnya. Ibunya menggosok gosokkan obat masuk angin. Saya tetap di kamarnya berduaan untuk beberapa lama. Setelah tenang, saya pamit pulang.
Perih ulu hati melihat dia lemas terkulai, hati saya tidak tega meninggalkannya. Tapi membayangkan pandangan orang saya jadi bingung. Alangkah kejamnya saya.
Malam Minggu berikutnya, saya tidak datang lagi ke rumah Eva. Ke Gereja pun saya absen untuk sementara. Dia memang SMS bertanya :”Bang kenapa ga datang ?”. “Maaf Eva saya lagi sibuk banget, malah tidur di fabrik, di seberang”, kilahku berdalih.
----------------
Lalu hari Jumat berikutnya, libur ke jepit plus cuti
5 hari, saya manfaatkan pulang ke kampung naik Bus malam, kasihan Bapak dan Ibu yang sudah
rindu menunggu. Hanya saja, saya menghindar tidak pergi ke rumah paman di kampung Simaninggir.
Kuatir nanti masalah kawin lari Longga diungkit ungkit lagi. Hati saya masih terluka memikirkannya. Bahkan nanti akan ada omongan tentang kemungkinan dijodohkan dengan Jojor .
Sulit sekali membantah paman yang saya hormati itu. Dari pada hati paman terluka nanti, saya memilih untuk tidak mengunjungi rumahnya. Kabar kedatanganku berembus juga sampai ke rumah paman di Simaninggir. Buktinya Jojor datang ke rumah kami di Sibolga.
“Ehh Abang, kapan datang ?”, tanyanya seperti terkejut.
“Baru 3 hari adek”, sahut saya juga pura pura tidak tahu dia terkejut.
“Ga keatas bang”, katanya, maksudnya ke rumahnya.
“Wah ga sempat dek, lusa sudah mau pulang”, jawabku berdalih.
“Sampaikan saja salam buat paman dan Ibu”, kata saya.
“Sebenarnya Jojor mau cerita bang, tapi ga enak didengar orang lain”, katanya.
“Kalau begitu kita keluar yo”, kata saya.
Kupinjam motor adikku, kutancap kearah Selatan menuju pantai Pandan. Pantai putih ini sudah lama jadi Daerah Tujuan Wisata.
Juga banyak warung warung terbuka menjual ikan segar baru ditangkap nelayan. Kita tinggal memilih lalu dibakar. Disantap panas panas, dimakan dengan tangan tanpa sendok, segar dengan sambal, bawang, jeruk nipis, cuka….aduh, tidak ada duanya.
Sambil makan dia tidak menyinggung tentang omongan orang tua saya, tentang perjodohan Jojor dengan saya. Dia hanya menceritakan kembali secara detil tentang “Mangalua”, kawin larinya kakaknya .
“Kok Abang diam saja”, katanya seraya melanjukan :”Sepertinya Abang tidak sedih”, katanya menelisik.
“Adek, siapa yang tidak kecewa, sedih, kasihan Ibu dan paman”, jawab saya.
“Tetapi begitulah cinta”, kata saya seperti pujangga.
“Cinta itu buta, tidak logis”, kata saya menggurui.
“Menjodohkan dengan Pariban itu sudah kuno, zaman gini masih ada perjodohan ?”.
“Jojor juga pasti sudah ada tambatan hati, kenalin dong”, kata saya menggoda.
Dia mencubit pinggang saya sampai sakit.
Diapun cerita tentang kakaknya di Danau Toba sana.
“Kakak sudah mengandung bang, 5 bulan”, katanya dengan mata berbinar dengan rasa senang.
“Bapak sama Ibu belum mau nengok kesana masih luka hati bapak”, katanya.
Terus dilanjutkan : ”Tapi Jojor sudah kesana bang, Poltak lagi pendidikan Secapa, calon Perwira di Medan”.
Dia naik Bus dari Sibolga – Tarutung – Balige -Parapat selama 4 jam sejauh 260 km. Turun Bus lalu naik angkutan umum sampai Ajibata, pelabuhan kapal penumpang. Lalu berlayar hingga ke kampung Poltak di desa Tuk tuk Siadong, sekitar 45 menit sudah sampai.
Melewati Danau Toba, angin semilir berembus segar, danau dengan riak riak kecil, seperti kaca, indah menakjubkan. Nampak bukit bukit menghijau dikejauhan dan rumah rumah penduduk dan Gereja Gereja mungil. Hotel hotel bergaya rumah Batak di pinggir Danau. Penumpang, penduduk asli ulau Samosir, turis lokal berbaur dengan turis turis asing.
"Nanti setelah melahirkan dan anaknya bisa dibawa naik mobil, kakak akan datang ke Simaninggir dan Sibolga. Mereka akan membawa makanan sekalian memohon maaf telah mengecewakan Orangtua".
Hati orang tua mana yang tidak luluh melihat cucunya pertama, dari anak tertuanya. Mata hati yang terluka akan pulih kembali.
Memang, begitulah Adatnya.
No comments:
Post a Comment