Saturday, August 13, 2016

NOVEL : PARIBAN YANG PINTAR VII @ LARI DARI BAYANG PARIBAN (7)



                                                              VII

                                      PARIBAN YANG PINTAR

Tidak terasa Jojor sudah lulus SMA. Pintar anaknya, lulus ujian UMPTN. Dari semula dia ingin kuliah di Yogjakarta, jadi dia sangat tekun belajar disamping les.
Biar sekolah di pelosok Tanah Air, jika betul betul fokus belajar bisa masuk Perguruan Tinggi Negeri

Setelah mengetahui diterima di Gajah Mada, Bapaknya, paman menelpon :
“Leo, adikmu ingin kuliah ke Jogja, kau ada waktu mengantar kesana”, pintanya.
“Bisa diatur waktunya Tulang”, saya menyanggupi. 
“Kalau begitu bicaralah kau dulu sama adekmu ya, kapan mau berangkat”, katanya, lalu menutup telpon.Saya tidak lupa perlakuan paman terhadap saya, ponakannya, seperti anaknya sendiri.

Kami pun sepakat akan berangkat cepat cepat bulan Juli sambil mencari rumah kos. Dia berangkat dari Bandara F.L.Tobing, Sibolga ke Soekarno – Hatta. Saya juga terbang dari bandara Sultan Taha, Jambi ke Cengkareng. Dari Jakarta kami naik Kereta Api Argo Lawu ke Jogjakarta, biar lebih hemat. Bukannya Paman dan saya tidak mampu beli ticket pesawat, tapi kalau bisa berhemat, lebih baik.

Diatas Kereta Api Argo Lawu saya bilang ke Jojor :
“Senang kali kau meninggalkan kampung ya, mukamu ceria banget”, kata saya menggoda. “Yalah bang, terbayar belajar capek, senang ada Abang yang bisa membantu Jojor”, katanya manja.
“Ehh Abang tidak lama lama, nanti kau sendiri”, kata saya.
“Sip lah bang, kata Bapak Abang nanti akan lihat lihat saya”, katanya.
“Abang kan kerja, gimana mau datang datang, kan jauh”, kata saya.
Jauh dari Orang tua itu baik, mengajar anak anak untuk cepat mandiri.

Karena sudah capek sejak pagi pagi dari Sibolga, sejak berangkat dari stasiun Gambir jam 8.15 malam dia sudah menguap. Mula mula ngantuk ngantuk ayam, rebah di bahu saya hingga berhenti di Cirebon jam 11 malam. Lama lama tertidur, kepalanya di pangkuan saya. Sayapun tertidur sampai berhenti di stasiun Purwokerto jam 1 dini hari. Saya bangunkan dia dan memesan Nasi goreng, kopi dan teh dari restoran Kereta.

Saya lalu mengeluarkan HP dan menunjukkan foto dia waktu tidur dipangkuan saya. Dia minta HPnya, saya tidak kasih. Dia merebut sehingga badan kami berbenturan, baru saya berikan.
“Aku mau forward ke kakak ya”, katanya.
 “Ssst jangan nanti dikirim ke Simaninggir atau Sibolga, kan bahaya”, kata saya.
Lalu saya rebut lagi langsung delete, biar tidak jadi masalah.

Tiba di stasiun Tugu, Jogjakarta masih dini hari hampir jam 4.  Sambil menunggu mentari menampakkan semburatnya,  kami menunggu dulu di stasiun. Kemudian jam 7 an, kami makan bubur Ayam di warung pinggir jalan. Enak, murah dan bersih.
Rasanya tidak enak sampai di rumah kos, siapa tahu masih pada selimutan.

Jam 8 an kami sudah di rumah kos mbak Sumiyati. Ponakannya satu kos, mbak Endang sudah nikah dengan pacarnya, lulusan kadet penerbang AAU Adisucipto.
Rumah kos mbak Sumiyati sudah pindah kearah Utara Tugu melewati  Jetis, Petinggen, persisnya  Jalan Monjali Karangjati. Dia pindah karena ada jalan baru, jalan potong langsung, dekat ke kampus Bulaksumur. Tidak perlu memutar jauh lewat Tugu.
Sebagai Mahasiswa semua harus bisa dihemat.

Mbak Sum, orangnya halus, jujur dan polos seperti umumnya orang Solo. Waktu makan siang di warung gudeg Yu JUM , mbak Sum bercerita begini :“Bang Leo ini dulu ditinggal kawin pacarnya, mbak Sri”, katanya dengan bibirnya yang berwarna bibir tanpa lipstick.
“Bohong adek, kami cuma teman, dia kan anak Ustad”, tangkis saya.

Setelah sampai dirumah kos, Jojor berkomentar :”Kasihan kau bang, di kampung ditinggal, disini juga ditinggal”, katanya.
Jodoh Tuhan yang menentukan, fikirku dalam hati.
“Kau nomong apa sih adek”, kata saya. Tidak saya tanggapi, jangan sampai menggali memory sendu masa yang telah berlalu.

Sore hari kami berangkat menemui teman lama Bona yang tinggal di Wisma Slamet di Lempuyangan, khusus kos untuk pria. Bonar kaget ketika kami datang.Setelah berkenalan saya langsung berkata :
” Bonar bisa bantu bawa Jojor ke kampus besok, saya mau pulang cepat”, pinta saya.

Jojor langsung menyela :”Bang antar saya dulu besok ke kampus, Keretanya kan sore”, katanya sambil menggelayut dilengan saya. Sampai ga enak dilihat teman teman kos. Dasar anak manja.
Saya bilang :”Dia Paribanku Bonar, jangan main main, tolong titip lihat lihat dia di kosnya ya”, pintaku  denganwajah serius.
 “Jangan kuatir Leo”, katanya meyakinkan.

Sehabis mendaftar ulang di lantai 3 Bulaksumur siang itu, kami bertiga makan siang di warung murah meriah sekitar kampus, kami langsung pulang ke rumah kosnya Jojor. Siap siap ke stasiun Tugu jangan sampai kehabisan ticket, karena besok sudah harus  terbang ke Jambi.

Menjelang malam, informasi mengumumkan lewat pengeras suara :” KA jurusan Gambir segera berangkat”.
Bonar, mbak Sum sudah bersalaman. Tiba tiba Jojor memberi tangan salaman dan langsung memeluk saya erat dan agak lama. Saya juga memeluk sekadarnya.
Lalu berbisik :”Bang jangan lupa sama aku ya”, katanya berbisik.
Tidak tahu apa maksudnya kata kata “tidak lupa” itu.

Sejak saat itu Jojor mulai mandiri. Pergi kuliah naik angkutan umum sendiri atau kalau mendesak naik ojek. Setiap ada tugas kelompok, dia naik Trans Yogja disekitar Jetis.
Dia dikenal pintar malah menjadi ketua kelompok jika mengerjakan tugas soal Akuntansi yang sulit. Anggota kelompok dari bermacam daerah dengan kharakter masing masing.
Kharakternya yang suka bicara keras mulai berkurang disesuaikan dengan lingkungan Yogjakarta yang halus dan sopan.

Dia mengabarkan Ayahnya kalau dia perlu sepeda motor. Dia SMS : 
“Pak tempat kelompok diskusi kami agak jauh, naik ojek jadi mahal”. Ayahnya bilang : 
“Sabar ya Jor, nanti kami usahakan”.
Ayahnya langsung telpon saya :”Leo adekmu Jojor minta motor untuk belajar kelompok, katanya jauh, gimana menurut kau ?”.
“Kalau ada, baik itu paman”, jawabku.
”Masalahnya uang paman habis tertanam dalam stock getah, menunggu harga naik”, katanya. 
“Maksud Paman saya mau talangi dulu ?”, kata saya menduga tekanan nada suaranya.
"Betul Leo, kau talangi dulu DPnya, nanti Paman cepat ganti”, katanya meyakinkan.

Dua hari kemudian Jojor BBM :
”Terima kasih Abangku yang baik hati”, katanya.
 “Jor, Abang cuma menalangi, terima kasih sama paman yang kerja keras banting tulang” jawabku. 
“Sudah bang”, katanya.
Orang tua akan berusaha semaksimal mungkin member fasilitas asal dibuktikan dengan prestasi anaknya.
Dengan sepeda motor baru itu, Bonar berniat mengajak Jojor melihat candi Borobudur yang terkenal itu. Kebetulan familynya, Laxmi dari Undip Semarang rencana akan Bakti Sosial di kantor Kecamatan Candirejo, dekat Borobudur. Dia ingin memperkenalkan Jojor dengan Laxmi.

Setelah berjanji dengan Laxmi dan juga memberitahu Jojor sedikit tentang keluarga Laxmi di Semarang, disuatu Sabtu pagi mereka 4 pasangan melaju ke arah jalan Magelang. Jaraknya relatif dekat, hanya 30 km.
 Nampak di Kelurahan Candirejo, ada poster pengobatan cuma cuma, operasi katarak.


“Siapa yang mau ke kamar mandi, pergilah”, kata Bonar.
Lalu mereka cari Laxmi diantara para mahasiswa Kedokteran berjaket putih dengan logo Undip di dada. 

"Hai Laxmi", kata Bonar
“Kenalin Lax, ini Jojor”, kata Bonar. “

Laxmi”, sambil mengulurkan tangan.
“Jojor itu asli mana ?”, tanya Laxmi. 
“Jojor itu nama Batak tauk, kau ini gimana”, kata Bonar tertawa. Jojor tertawa juga dengan berkata :”Asli Indonesia”, mereka bertiga pun tertawa.

Setelah habis dari kamar mandi, Laxmi bilang sama Bonar :”Bawa jalan ke Semarang ya bang”, katanya dengan tulus.
 “Ya kak, nanti kalau liburan”, kata Jojor dengan tawanya yang renyah.
 Bonar sengaja merahasiakan kalau saya dekat sekali dengan keluarga Sitompul yang sudah lama tinggal di Candi, Semarang.
Benar saja saat Libur Natal, Bonar dan Jojor libur ke Semarang. Mereka menginap di rumah Laxmi, karena Ayahnya senang kalau ada orang dari  kampung datang. Lepas rindunya ketika bercakap cakap santai.

“Kampungnya dimana nak Jojor”, kata Ayahnya Laxmi. 
“Dari Sibolga pak”, jawabnya.
“Ohh, dulu ada juga orang Sibolga yang pernah kesini, anaknya baik, teman anakku yang di Jakarta”, katanya dan melanjutkan :
”Namanya Leo”.
“Leo, yang kerja di Jambi ?”, tanya Jojor.

“Itu Paribannya Jojor pak”, kata Bonar sambil terbahak bahak.
“Kok, Bonar tidak bilang bilang”, kata Jojor agak sengit. Tetapi Jojor tidak berani kasar didepan orang tua
“Ya, biar kau tahu sendiri, kalau Leo itu orang baik”, kata Bonar sambil lari ke teras.

“ Rencana sih Leo mau kesini libur Natal”, kata Laxmi menyela.
“Coba Lax telpon, kapan Leo mau datang, biar Jojor jangan pulang dulu”, kata Ayahnya.
Laxmi coba telpon beberapa kali tapi HPnya tidak aktif.

Sebelum tidur Jojor telpon Leo.
“Bang katanya pacaran sama Lasma”, kata Jojor. 
“Siapa yang bilang, Bonar ya ?”, kata saya.
“Saya ini lagi nginap di rumahnya di Semarang tauk”, kata Jojor lalu menambahkan :
”Calon mertuamu menunggu”, kata Jojor berbisik, jangan sampai kedengaran.
“Ihh jangan percaya adek, Lasma itu saya anggap Saudara dan sudah nikah pula”, kata saya .
“Tadi Laxmi mengatakan Abang mau datang, ehemmm”.
“Apaan ehemm ehemm segala, tadinya Natal Abang ke Jogja dulu, baru kuajak kau ke Semarang Tahun baruan”, katanya untuk menenangkan marahnya Jojor.
“Sudah ya bang, nanti kusampaikan salammu sama Laxmi”,sambil tertawa, lalu menambahkan: 
"Ya kalau bukan kakaknya ya adiknya ha ha ha", seraya menutup telpon. Nampaknya dia cemburu.

Akhirnya tgl 24 Desember, saya dijemput di Bandara Ahmad Yani, Semarang oleh Bonar, Laxmi dan Jojor.
Saya sih tenang tenang saja, tidak merasa groggy, karena memikir kalau Laxmi itu hanya saya anggap sebagai Saudara yang kuliahnya di Kedokteran masih lama. Sedangkan Jojor adalah saya anggap adik sendiri walaupun juga sebagai Pariban yang tidak mungkin menikahinya. Kenapa?

Karena dia pintar, pasti kuliahnya sampai S1 dan akan kerja, akan memakan waktu yang masih lama.Saya ingin dia menjadi kebanggaan Orangtua dan keluarga besar kami. Saya akan mendukungnya sekuat saya.


















No comments:

Post a Comment