II
BERTUNANGAN
Kami pun berangkat pulang ke kampung Simaninggir di puncak bukit. Walau cuma 10 km tetapi tidak ada angkutan umum karena jalan yang berliku liku dan mendaki hingga puncak bukit.
Sengaja kubawa baju khusus untuk ke Gereja esok harinya, hari Minggu.
“Bikin dulu makan Abangmu Longga”, kata Ibunya.
Belum sempat kusahuti, Longga sudah menjawab:”Kan ada Jojor”, katanya nyindir.
“Sudah makan tadi di rumah Nantulang”, kataku meredakan suasana.
Nantulang itu panggilan untuk istrinya Tulang/Paman.
Kamipun ngobrol panjang sekeluarga diruang tengah, ruang makan.
Ibunya sedang masak pisang goreng, gurih mamis semanis kedua bintang, kakak beradik.
Tanpa disuruh Jojor menyiapkan 1 gelas kopi manis.
“Kok Cuma satu ?, kata Longga. Jojor diam saja.
Sedang asyiknya bercanda ria, Paman tiba tiba bertanya :”Kalau kawin sambil kuliaH boleh ga Leo?”
Pertanyaan yang tak terduga, ragu ragu juga menjawabnya. “Ohh, bisa Tulang”, sahut saya agak gugup, karena kaki saya disenggol oleh kaki Longga.
Tak lama kemudian Bapak, Ibu pindah ke ruang tamu. Tinggal kami bertiga, saya dan dua bintang, Longga dan Jojor.
“Namboru pesan, datang dulu kau ke Sibolga”, kata Jojor. Namboru panggilan untuk Ibu saya.
“Ada apa katanya “?, tanya Longga.
“Katanya penting banget”, seraya menyindir.
“Kok pura pura tidak tau”, katanya sambil masuk kamar.
Sebelum menutup pintu, kepalanya nongol kembali :”Bang jangan salah kamar ya”, katanya sambil tertawa terkekeh.
Setelah kami tinggal berdua, sambil menonton TV, Longga bertanya :
”Ada apa bang kata Namboru ?”. Ibuku maksudnya.
” Dengar dengar sih tentang pertunangan kita”, jawab saya. Diapun mencibut lenganku sampai sakit.
“Emangnya Abang mau ? “, tanyanya menggoda.
“Kalau Longga mau, Abang juga mau”, kata saya dengan melanjutkan :
”Tapi kalau tidak mau bilang saja terus terang”, desak saya.
"Saya kan anak tunggal, ya nurutlah sama Bapak, Ibu, jadi terserah Longga saja", kata saya menyudahi.
Besok pagi sehabis sarapan, jam 9.30 kami berangkat ke Gereja berlima. Ayah, Ibunya, Longga dan Jojor. Ayah, Ibu berjalan didepan. Kami bertiga dibelakang. Saya diapit 2 bintang.
Jemaat, pengunjung Gereja menoleh ke rombongan kami, sambil berbisik bisik. Kami berempat duduk di bangku panjang. Sedang Jojor gabung dengan Paduan suara Pemuda/i.
Mata para pemuda juga menoleh kearah kami. Ada yang kelihatan berbisik bisik, melihat saya, pemuda yang bukan warga kampung Simaninggir.
Sehabis makan siang, Longgapun mengajak segera ke Sibolga menemui Ibu saya. Mumpung hari Minggu. Kami berangkat bertiga. Jojor duduk dibelakang dan Longga di bangku depan. Sesekali pandangan mata saya ketemu mata Jojor di kaca spion.
Sampai di rumah kami di Jl. Dolok Martimbang, Longga langsung cari Ibu saya di dalam. Seang saya dan Jojor di ruang tamu.
“Horas namboru”, katanya sambil menciumnya.
“Paribanmu akhir bulan ini mau berangkat ke Yogja, gimana pembicaraan kalian ?”.
“Bapak sih menyarankan saya ikut Abang ke Yogja, kalau nanti saya sudah lulus”.
Dan melanjutkan :”Aku bilang, Abang tammat saja dulu, jangan nanti mengganggu kuliahnya”.
“Akupun setuju”, kata ibu, seraya melanjutkan :
”Gimana kalau kalian tunangan saja dulu””, usul Ibu.
Longga terdiam, cukup lama berfikir.
“Gimana hasian”, kata Ibu lagi. Hasian maksudnya sayang. Longga agak terkejut.
“Ya Namboru, aku tanya Bapak, Ibu dulu ya”, katanya dengan sopan.
“Baiklak sayang jangan lama lama ya”. Longga pun pindah keruang tamu.
Menjelang sore, Longga berkata :”Bang antarkan kami ke stasiun Bus dulu”, pintanya.
Tiba tiba Ibu dari ruang dalam menyahut :”Kau antar saja dulu paribanmu pulang”, katanya serius.
“Ga usah Namboru, sampai stasiun saja”, kata Longga.
Sambil pamitan Ibu berkata agak keras kepada Longga :”Bapak, Ibumu sudah setuju, kalian tunangan dulu”, katanya sambil bersalaman dan mencium kedua bintang kesayangannya itu.
Saya membawa mereka dan disimpang empat mobil saya belokkan arah kiri, menuju Simaninggir. “Bang kami naik Bus saja”, pinta Longga. Tapi saya terus tanjap gas melalui jalan menanjak berkelok kelok menuju kampung Simaninggir, 10 di puncak bukit.
Tidak lama saya di Simaninggir karena Bapak, Ibunya pergi acara perkawinan adat di desa Sitahuis.
Menjelang petang Jojor merengek :”Bang ayo kita ke Pemandangan Indah dulu”, katanya dengan manja. Lokasi itu hanya 2 km dari Simaninggir arah kota Sibolga,
“Pamit kakakmu dulu”, kata saya.
“Ga apa apa bang”, kata Longga dari dalam. Kami pun pergi berdua dengan Jojor, yang tidak kalah bersinarnya dengan kakaknya, hanya giginya gindsul seperti bintang film Jepang.
Lalu kami duduk berdua di bangku dibawah balai balai beratap rumbia,
Nampak kapal kapal ikan Nelayan dan keramba, nun jauh di Teluk Tapian Nauli, 10 km dibawah sana dengan lampu lampu sangat indah senja menjelang malam dengan mentari jingga di ufuk Barat Samudera HIndia. Suasana memang sangat romantis, duduk berdua
"Bang aku mau kuliah di Jogja juga ambil jurusan Akutansi, abang bantu ya?", katanya.
Matanya menatap Teluk Tapian Nauli yang berwarna JIngga senja itu.
"Pasti pasti, apa paman sudah setuju?"
"Sudah bang", katanya dengan mata berbinar.
Menjelang gelap kami pulang kerumah, Jojor hanya memegang tangan saya erat erat jangan sampai terjatuh turun dari balai balai itu.
Sekarang keputusan ada ditangan Longga, anak tertua Bapak Pandiangan, paman saya.
Adat Batak mengatakan :”Jangan membuat anak kakakmu menangis”.
Esok harinya adalah hari pekan, pasar mingguan di pasar Sitahuis. Bapak, Ibu saya membeli karet dan berjualan kain disana, 20 km jauhnya dari Sibolga. Pulangnya mampir di Simaninggir.
Malam hari baru tiba kembali di rumah Sibolga.
Ibu dengan tertawa tawa membuka pembicaraan :
"Longga menganggukkan kepala tanda setuju kalian bertunangan", katanya. Tanggal pertunangan sudah ditetapkan hari Sabtu, 30 Januari.
Longga mengikuti adat Batak, akan dikawinkan dengan saya, Paribannya dan atas permintaan Ibu saya dan adiknya.
Beberapa hari kemudian saya menjemputnya pulang sekolah. Kami duduk dipinggir pantai sebelah pelabuhan Sibolga.
"Kok wajahmu lesu begitu", kata saya menggoda.
"Ga apa apa bang, masuk angin kali", jawabnya acuh.
"Apa mikirin si baju hijau yang ganteng itu?", kata saya menggoda.
Dia diam tidak menjawab.
Saya menduga hatinya galau, suatu plihan yang sulit, pilihan hati sendiri atau pilihan hati orang tuanya. Pilihan antara teman dekatnya, seorang tentara berpangkat sersan atau mengikui adat Batak, sesuai permintaan orangtuanya, dengan saya Paribannya, seorang calon Sarjana, teman masa kecilnya.
Malam minggu, malam pertunangan pun berlangsung sederhana di rumah kami di Jl.Dolok Martimbang, Sibolga. Yang hadir teman teman Longga, tidak ketinggalan si Poltak dan juga keluarga dekat kami saja. Esoknya sayapun terbang ke Yogja dengan cincin di jari manis. Longga dan Jojor mengantarkan hingga ke Bandara F.L.Tobing, Sibolga.
Sengaja kubawa baju khusus untuk ke Gereja esok harinya, hari Minggu.
“Bikin dulu makan Abangmu Longga”, kata Ibunya.
Belum sempat kusahuti, Longga sudah menjawab:”Kan ada Jojor”, katanya nyindir.
“Sudah makan tadi di rumah Nantulang”, kataku meredakan suasana.
Nantulang itu panggilan untuk istrinya Tulang/Paman.
Kamipun ngobrol panjang sekeluarga diruang tengah, ruang makan.
Ibunya sedang masak pisang goreng, gurih mamis semanis kedua bintang, kakak beradik.
Tanpa disuruh Jojor menyiapkan 1 gelas kopi manis.
“Kok Cuma satu ?, kata Longga. Jojor diam saja.
Sedang asyiknya bercanda ria, Paman tiba tiba bertanya :”Kalau kawin sambil kuliaH boleh ga Leo?”
Pertanyaan yang tak terduga, ragu ragu juga menjawabnya. “Ohh, bisa Tulang”, sahut saya agak gugup, karena kaki saya disenggol oleh kaki Longga.
Tak lama kemudian Bapak, Ibu pindah ke ruang tamu. Tinggal kami bertiga, saya dan dua bintang, Longga dan Jojor.
“Namboru pesan, datang dulu kau ke Sibolga”, kata Jojor. Namboru panggilan untuk Ibu saya.
“Ada apa katanya “?, tanya Longga.
“Katanya penting banget”, seraya menyindir.
“Kok pura pura tidak tau”, katanya sambil masuk kamar.
Sebelum menutup pintu, kepalanya nongol kembali :”Bang jangan salah kamar ya”, katanya sambil tertawa terkekeh.
Setelah kami tinggal berdua, sambil menonton TV, Longga bertanya :
”Ada apa bang kata Namboru ?”. Ibuku maksudnya.
” Dengar dengar sih tentang pertunangan kita”, jawab saya. Diapun mencibut lenganku sampai sakit.
“Emangnya Abang mau ? “, tanyanya menggoda.
“Kalau Longga mau, Abang juga mau”, kata saya dengan melanjutkan :
”Tapi kalau tidak mau bilang saja terus terang”, desak saya.
"Saya kan anak tunggal, ya nurutlah sama Bapak, Ibu, jadi terserah Longga saja", kata saya menyudahi.
Besok pagi sehabis sarapan, jam 9.30 kami berangkat ke Gereja berlima. Ayah, Ibunya, Longga dan Jojor. Ayah, Ibu berjalan didepan. Kami bertiga dibelakang. Saya diapit 2 bintang.
Jemaat, pengunjung Gereja menoleh ke rombongan kami, sambil berbisik bisik. Kami berempat duduk di bangku panjang. Sedang Jojor gabung dengan Paduan suara Pemuda/i.
Mata para pemuda juga menoleh kearah kami. Ada yang kelihatan berbisik bisik, melihat saya, pemuda yang bukan warga kampung Simaninggir.
Sehabis makan siang, Longgapun mengajak segera ke Sibolga menemui Ibu saya. Mumpung hari Minggu. Kami berangkat bertiga. Jojor duduk dibelakang dan Longga di bangku depan. Sesekali pandangan mata saya ketemu mata Jojor di kaca spion.
Sampai di rumah kami di Jl. Dolok Martimbang, Longga langsung cari Ibu saya di dalam. Seang saya dan Jojor di ruang tamu.
“Horas namboru”, katanya sambil menciumnya.
“Paribanmu akhir bulan ini mau berangkat ke Yogja, gimana pembicaraan kalian ?”.
“Bapak sih menyarankan saya ikut Abang ke Yogja, kalau nanti saya sudah lulus”.
Dan melanjutkan :”Aku bilang, Abang tammat saja dulu, jangan nanti mengganggu kuliahnya”.
“Akupun setuju”, kata ibu, seraya melanjutkan :
”Gimana kalau kalian tunangan saja dulu””, usul Ibu.
Longga terdiam, cukup lama berfikir.
“Gimana hasian”, kata Ibu lagi. Hasian maksudnya sayang. Longga agak terkejut.
“Ya Namboru, aku tanya Bapak, Ibu dulu ya”, katanya dengan sopan.
“Baiklak sayang jangan lama lama ya”. Longga pun pindah keruang tamu.
Menjelang sore, Longga berkata :”Bang antarkan kami ke stasiun Bus dulu”, pintanya.
Tiba tiba Ibu dari ruang dalam menyahut :”Kau antar saja dulu paribanmu pulang”, katanya serius.
“Ga usah Namboru, sampai stasiun saja”, kata Longga.
Sambil pamitan Ibu berkata agak keras kepada Longga :”Bapak, Ibumu sudah setuju, kalian tunangan dulu”, katanya sambil bersalaman dan mencium kedua bintang kesayangannya itu.
Saya membawa mereka dan disimpang empat mobil saya belokkan arah kiri, menuju Simaninggir. “Bang kami naik Bus saja”, pinta Longga. Tapi saya terus tanjap gas melalui jalan menanjak berkelok kelok menuju kampung Simaninggir, 10 di puncak bukit.
Tidak lama saya di Simaninggir karena Bapak, Ibunya pergi acara perkawinan adat di desa Sitahuis.
Menjelang petang Jojor merengek :”Bang ayo kita ke Pemandangan Indah dulu”, katanya dengan manja. Lokasi itu hanya 2 km dari Simaninggir arah kota Sibolga,
“Pamit kakakmu dulu”, kata saya.
“Ga apa apa bang”, kata Longga dari dalam. Kami pun pergi berdua dengan Jojor, yang tidak kalah bersinarnya dengan kakaknya, hanya giginya gindsul seperti bintang film Jepang.
Lalu kami duduk berdua di bangku dibawah balai balai beratap rumbia,
Nampak kapal kapal ikan Nelayan dan keramba, nun jauh di Teluk Tapian Nauli, 10 km dibawah sana dengan lampu lampu sangat indah senja menjelang malam dengan mentari jingga di ufuk Barat Samudera HIndia. Suasana memang sangat romantis, duduk berdua
"Bang aku mau kuliah di Jogja juga ambil jurusan Akutansi, abang bantu ya?", katanya.
Matanya menatap Teluk Tapian Nauli yang berwarna JIngga senja itu.
"Pasti pasti, apa paman sudah setuju?"
"Sudah bang", katanya dengan mata berbinar.
Menjelang gelap kami pulang kerumah, Jojor hanya memegang tangan saya erat erat jangan sampai terjatuh turun dari balai balai itu.
Sekarang keputusan ada ditangan Longga, anak tertua Bapak Pandiangan, paman saya.
Adat Batak mengatakan :”Jangan membuat anak kakakmu menangis”.
Esok harinya adalah hari pekan, pasar mingguan di pasar Sitahuis. Bapak, Ibu saya membeli karet dan berjualan kain disana, 20 km jauhnya dari Sibolga. Pulangnya mampir di Simaninggir.
Malam hari baru tiba kembali di rumah Sibolga.
Ibu dengan tertawa tawa membuka pembicaraan :
"Longga menganggukkan kepala tanda setuju kalian bertunangan", katanya. Tanggal pertunangan sudah ditetapkan hari Sabtu, 30 Januari.
Longga mengikuti adat Batak, akan dikawinkan dengan saya, Paribannya dan atas permintaan Ibu saya dan adiknya.
Beberapa hari kemudian saya menjemputnya pulang sekolah. Kami duduk dipinggir pantai sebelah pelabuhan Sibolga.
"Kok wajahmu lesu begitu", kata saya menggoda.
"Ga apa apa bang, masuk angin kali", jawabnya acuh.
"Apa mikirin si baju hijau yang ganteng itu?", kata saya menggoda.
Dia diam tidak menjawab.
Saya menduga hatinya galau, suatu plihan yang sulit, pilihan hati sendiri atau pilihan hati orang tuanya. Pilihan antara teman dekatnya, seorang tentara berpangkat sersan atau mengikui adat Batak, sesuai permintaan orangtuanya, dengan saya Paribannya, seorang calon Sarjana, teman masa kecilnya.
Malam minggu, malam pertunangan pun berlangsung sederhana di rumah kami di Jl.Dolok Martimbang, Sibolga. Yang hadir teman teman Longga, tidak ketinggalan si Poltak dan juga keluarga dekat kami saja. Esoknya sayapun terbang ke Yogja dengan cincin di jari manis. Longga dan Jojor mengantarkan hingga ke Bandara F.L.Tobing, Sibolga.
No comments:
Post a Comment