VIII
BERDAMAI DI PALANGKA RAYA
Ada perasaan campur aduk, senang bercampur sendu ketika saya
ditarik ke Divisi Tehnology di Kantor Pusat di Jakarta. Senang karena saya suka tantangan baru dan sekalian senang wisata, dibayar
kantor lagi. Sendu bercampur senang setelah Eva nikah dengan seorang Angkatan yang sudah
duda, berusia sekitar 45 tahunan, tapi masih tampak muda, Membayangkan 3 anak tiri dan yang tertua sudah
16 tahun, beda usia hanya 3 tahun dari Eva. Hati serasa damai mengingat latar belakang keluarga Eva tidak akan diperguncingkan lagi karena nikah dengan tentara.
Ibunya Eva tadinya menolak lamaran Angkatan ini setelah berpacaran dengan saya. Tetapi setelah kami putus, justru Ibunya mendorong dorong.
Setelah berkantor di Jakarta, saya tetap aktif gabung dengan koor di Gereja. Kali ini anggota Paduan Suara bukan hanya pemuda/i tapi campuran wanita dan pria. Yang bujangan maupun yang sudah berkeluarga. Senang rasanya karena seorang Pendeta muda lulusan Sekolah Tinggi Teology Yogjakarta ikut koor. Sehingga saya berkesempatan konseling, (bukan curhat). Kenapa nasib saya begini, suka ditinggal wanita.
Sebagai Pendeta muda wanita, dia mampu memberi pencerahan tentang wanita, baik disampaikan di ruangan khusus Gereja maupun ketika kami sedang makan siang atau makan malam. Kami suka makan di Hoka Hoka Bento, Jl. Sabang, Jakarta Pusat. Pernah malahan makan siang pada hari Sabtu di restoran AW di Ancol dan restoran Pizza di Jalan Raya Tajur, tidak jauh dari stasiun Bus Baranangsiang, Bogor.
Setahu saya dia masih bujangan ketika baru diresmikan jadi Pendeta muda. Tidak ada cincin dicari manisnya. Nasehatnya selalu menyejukkan hati. Sebagai gadis Jawa, dia juga sopan sekali dengan logat Jawanya yang medok. Ada rasa hormat kepadanya sebagai Pendeta, tetapi juga ada persaan sayang.
Kemudian tanpa ba bi bu, dia menghilang seperti ditelan bumi. Komunikasi lewatHP atau inbox di akun Face booknya tidak ditanggapi. Lalu saya bertanya dengan kakaknya lewat inbox Face book, dia menyarankan untuk tidak lagi menghubunginya, karena calon suaminya sangat possessif.
Akhirnya, saya dapat informasi, katanya dia sudah pindah ke Palangka Raya, Kalimantan Tengah dan berhenti jadi Pendeta karena akan segera nikah dengan perwira Polisi, putra asli dayak.
Saya jadi teringat cerita Jojor, kalau Abangnya Poltak beserta kakaknya Longga dan bayinya, dipindahkan ke Palangka Raya yaitu setelah lulus pendidikan Secapa di Medan, sebagaimana telah direncanakan sejak dulu sebelum nikah.
Beruntung di Divisi baru saya disibukkan dengan technology baru sehingga harus keliling ke Kantor Kantor Cabang di daerah, termasuk mengunjungi pameran Komputer di Hong Kong, Bangkok dan Taipei. Jadi sedikit lupa dengan hubungan dengan wanita.
Hingga suatu waktu Kepala Cabang Palangkaraya bertelepon ke kantor pusat berkata :”Pegawai kita ditahan oleh fihak keamanan karena maslah Tower BTS, mohon bantuan”.
Saya memilih pergi kesana untuk membantu penyelesaian masalah tersebut.
Pada saat akan survey lokasi Tower di pegunungan, karyawan dipukuli oleh orang tak dikenal. Kemudian ada laporan dari Angkatan Darat perusahaan kami dicurigai memasang Tower di bukit terlarang.
Untuk memberi informasi yang benar, bersama Kepala Cabang kami menghadap perwira di kantor Polisi. Kesalah fahaman terjadi karena ada Tower BTS yang terletak tidak begitu jauh dari rencana kami. Ternyata masalahnya adalah persaingan bisnis, bukan melanggar aturan keamanan Negara.
Malam harinya kami silaturahmi dengan perwira Polisi tersebut untuk menyampaikan terima kasih.
Ketika sedang berbicara dengan Tuan rumah, istrinya membawa teh ke ruang tamu. Istrinya agak kurus rambut dikriting berkulit hitam manis.
Setelah melihat saya Nyonya rumah yang masih muda itu tiba tiba terkejut dan gelasnya tumpah. Secara refex dia terkejut berkata : “Eh bang Leo”
Saya sangat kaget, dia adalah mantan Pendeta muda, anggota Paduan suara kami di Jakarta. Setelah selesai dibersihkan, Tuan rumah mengajak istrinya kedalam, kedengaran suara agak keras :
“Kamu kenal dimana, dasar…..”
Tidak terdengar jawabannya, karena dia putri Jawa yang halus, pendidikan Yogjakarta,
Besok paginya di kantor Polisi si Tuan rumah itu tambah galak memeriksa kami. Setelah kami jelaskan bahwa sifatnya kami baru survey lokasi, belum memutuskan lokasi ower pasti, baru sedikit kendor wajahnya. Mungkin mantan Pendeta muda itu menceritakan siapa saya sebenarnya.
Karena masalah ini, saya dan Kepala Cabang coba mencari kesatuan Letnan Poltak, suami Longga.
Karena sumber laporan berasal dari Angkatan Darat.
“Horas bang”, sapa saya.
“Ini teman saya pak Alberth Saloh, Kepala Cabang kami disini”, sambil bersalaman.
“Mengapa kesini dari Sibolga ?”, tanyanya dengan logat Tentara dan logat Bataknya.
Dari raut wajahnya masih kelihatan ada rasa tidak senangnya mengingat peristiwa pertunangan saya dengan Longga, istrinya. Menurut saya, sebenarnya dia sudah menang, menikahi Longga, kenapa harus benci sama saya.
Setelah menjelaskan permasalahannya, kemudian Laporan Angkatan Darat ke Polisi dicabut karena hanya karena persaingan bisnis antara sesama Internet provider di bukit yang sama. Mereka dapat backing dari Angkatan.
Agar masalah tidak berkepanjangan, saya minta bantuan bang Poltak. Lalu kami bersilaturahmi ke rumah perwira Polisi itu untuk mengucapkan terima kasih.
“Ini Poltak, Abang saya”, saya memperkenalkan mereka.
“Sudah kenal”, jawab perwira Polisi itu.
Kali ini istrinya ikut duduk diruang tamu. Wajah pak Polisi sudah cerah setelah mengetahui bahwa saya adalah anggota Paduan Suara yang baik bersama istrinya dulu di Jakarta. Tidak lebih.
Ibunya Eva tadinya menolak lamaran Angkatan ini setelah berpacaran dengan saya. Tetapi setelah kami putus, justru Ibunya mendorong dorong.
Setelah berkantor di Jakarta, saya tetap aktif gabung dengan koor di Gereja. Kali ini anggota Paduan Suara bukan hanya pemuda/i tapi campuran wanita dan pria. Yang bujangan maupun yang sudah berkeluarga. Senang rasanya karena seorang Pendeta muda lulusan Sekolah Tinggi Teology Yogjakarta ikut koor. Sehingga saya berkesempatan konseling, (bukan curhat). Kenapa nasib saya begini, suka ditinggal wanita.
Sebagai Pendeta muda wanita, dia mampu memberi pencerahan tentang wanita, baik disampaikan di ruangan khusus Gereja maupun ketika kami sedang makan siang atau makan malam. Kami suka makan di Hoka Hoka Bento, Jl. Sabang, Jakarta Pusat. Pernah malahan makan siang pada hari Sabtu di restoran AW di Ancol dan restoran Pizza di Jalan Raya Tajur, tidak jauh dari stasiun Bus Baranangsiang, Bogor.
Setahu saya dia masih bujangan ketika baru diresmikan jadi Pendeta muda. Tidak ada cincin dicari manisnya. Nasehatnya selalu menyejukkan hati. Sebagai gadis Jawa, dia juga sopan sekali dengan logat Jawanya yang medok. Ada rasa hormat kepadanya sebagai Pendeta, tetapi juga ada persaan sayang.
Kemudian tanpa ba bi bu, dia menghilang seperti ditelan bumi. Komunikasi lewatHP atau inbox di akun Face booknya tidak ditanggapi. Lalu saya bertanya dengan kakaknya lewat inbox Face book, dia menyarankan untuk tidak lagi menghubunginya, karena calon suaminya sangat possessif.
Akhirnya, saya dapat informasi, katanya dia sudah pindah ke Palangka Raya, Kalimantan Tengah dan berhenti jadi Pendeta karena akan segera nikah dengan perwira Polisi, putra asli dayak.
Saya jadi teringat cerita Jojor, kalau Abangnya Poltak beserta kakaknya Longga dan bayinya, dipindahkan ke Palangka Raya yaitu setelah lulus pendidikan Secapa di Medan, sebagaimana telah direncanakan sejak dulu sebelum nikah.
Beruntung di Divisi baru saya disibukkan dengan technology baru sehingga harus keliling ke Kantor Kantor Cabang di daerah, termasuk mengunjungi pameran Komputer di Hong Kong, Bangkok dan Taipei. Jadi sedikit lupa dengan hubungan dengan wanita.
Hingga suatu waktu Kepala Cabang Palangkaraya bertelepon ke kantor pusat berkata :”Pegawai kita ditahan oleh fihak keamanan karena maslah Tower BTS, mohon bantuan”.
Saya memilih pergi kesana untuk membantu penyelesaian masalah tersebut.
Pada saat akan survey lokasi Tower di pegunungan, karyawan dipukuli oleh orang tak dikenal. Kemudian ada laporan dari Angkatan Darat perusahaan kami dicurigai memasang Tower di bukit terlarang.
Untuk memberi informasi yang benar, bersama Kepala Cabang kami menghadap perwira di kantor Polisi. Kesalah fahaman terjadi karena ada Tower BTS yang terletak tidak begitu jauh dari rencana kami. Ternyata masalahnya adalah persaingan bisnis, bukan melanggar aturan keamanan Negara.
Malam harinya kami silaturahmi dengan perwira Polisi tersebut untuk menyampaikan terima kasih.
Ketika sedang berbicara dengan Tuan rumah, istrinya membawa teh ke ruang tamu. Istrinya agak kurus rambut dikriting berkulit hitam manis.
Setelah melihat saya Nyonya rumah yang masih muda itu tiba tiba terkejut dan gelasnya tumpah. Secara refex dia terkejut berkata : “Eh bang Leo”
Saya sangat kaget, dia adalah mantan Pendeta muda, anggota Paduan suara kami di Jakarta. Setelah selesai dibersihkan, Tuan rumah mengajak istrinya kedalam, kedengaran suara agak keras :
“Kamu kenal dimana, dasar…..”
Tidak terdengar jawabannya, karena dia putri Jawa yang halus, pendidikan Yogjakarta,
Besok paginya di kantor Polisi si Tuan rumah itu tambah galak memeriksa kami. Setelah kami jelaskan bahwa sifatnya kami baru survey lokasi, belum memutuskan lokasi ower pasti, baru sedikit kendor wajahnya. Mungkin mantan Pendeta muda itu menceritakan siapa saya sebenarnya.
Karena masalah ini, saya dan Kepala Cabang coba mencari kesatuan Letnan Poltak, suami Longga.
Karena sumber laporan berasal dari Angkatan Darat.
“Horas bang”, sapa saya.
“Ini teman saya pak Alberth Saloh, Kepala Cabang kami disini”, sambil bersalaman.
“Mengapa kesini dari Sibolga ?”, tanyanya dengan logat Tentara dan logat Bataknya.
Dari raut wajahnya masih kelihatan ada rasa tidak senangnya mengingat peristiwa pertunangan saya dengan Longga, istrinya. Menurut saya, sebenarnya dia sudah menang, menikahi Longga, kenapa harus benci sama saya.
Setelah menjelaskan permasalahannya, kemudian Laporan Angkatan Darat ke Polisi dicabut karena hanya karena persaingan bisnis antara sesama Internet provider di bukit yang sama. Mereka dapat backing dari Angkatan.
Agar masalah tidak berkepanjangan, saya minta bantuan bang Poltak. Lalu kami bersilaturahmi ke rumah perwira Polisi itu untuk mengucapkan terima kasih.
“Ini Poltak, Abang saya”, saya memperkenalkan mereka.
“Sudah kenal”, jawab perwira Polisi itu.
Kali ini istrinya ikut duduk diruang tamu. Wajah pak Polisi sudah cerah setelah mengetahui bahwa saya adalah anggota Paduan Suara yang baik bersama istrinya dulu di Jakarta. Tidak lebih.
Dari rumah pak Polisi, lalu Poltak membawa saya langsung ke rumahnya. Lalu bertemu Longga bersama anaknya, yang sedang lucu lucunya. Kulitnya putih seperti Ayahnya dan kulit saya.
Ada sedikit rasa iri, bukan cemburu, melihat kebahagiaan mereka. Cinta sejati yang mereka perjuangkan tidak sia sia. Walau cukup lama tidak berkomunikasi dengan orangtuanya, tapi setelah mereka meminta maaf dengan membawa makanan, kemarahan orang tuanya sudah sirna. Akhirnya terjadilah perdamaian di Palangka Raya. Yaitu perdamaian pribadi dengan Poltak. Dan perdamaian bisnis telekomunikasi dengan Amgkatan.
Dalam perbincangan malam itu Longga menyinggung soal adiknya Jojor. Kuceritakan semua tentang pendaftaran kuliah, cari rumah kos, teman yang menjaganya sampai membeli Sepeda motor.
Longga bilang begini :”Bang, dari awal aku lihat Jojor itu suka sama Abang”, katanya seraya menambahkan :”Bapak sama Namboru ingin Abang dinikahkan langsung sama Jojor”, katanya sedikit hati hati jangan sampai saya tersinggung.
“Cocoklah kalian bang sama sama ekonom”, kata bang Poltak mendukung istrinya.
“Begini bang Poltak, saya tidak pernah memberi harapan sama Jojor”.
“Dia kan cantik juga Leo”, katanya sambil tertawa.
“Dia itu pintar, di Fakultas dia suka memimpin diskusi kelompok”, dia pasti akan jadi Akuntan dan dapat kerjaan yang baik nanti”, kata saya memberi alasan yang masuk akal.
Kuliahku kulanjutkan dengan berkata :”Biar dia menjadi kebanggaan keluarga. Saya akan terus mendukung dia”, kata saya.
“Terus sekarang Abang dengan siapa ?”, tanya Jojor. Baru aku cerita tentang hubunganku dengan Pendeta muda dan gelas pecah di rumah pak Polisi. Kami semua tertawa terbahak bahak.
Besoknya saya bekerja setengah hari di kantor, lalu setelah makan siang keliling kota Palangka Raya dulu melewati Tugu kota Palangka Raya, Arena sport Ahmad Yani, melewati Bundaran besar, Kantor Gubernur, melewati jembatan dan menikmati mentari senja di sekitar jembatan Kahayan
Saya pun pulang dari Palangka Raya menyisakan rasa senang bercampur kecewa. Jika aku jadi sama Longga, anakku sudah sebesar itu. Terbukti perjuangan cinta sejati mereka mengalahkan semua dan perjodohan orang tua itu, layaknya ditinggalkan.
No comments:
Post a Comment