IX
KULIAH DI PHILADELPHIA
Karena perkembangan perusahaan cukup pesat, Direksi merasa perlu saya
menambah pengetahuan tentang Technology informasi dan mengirim saya ke
Washington DC Amerika untuk menghadiri Pameran Komputer dialanjutkan dengan
Training berjudul “Tehnology informasi untuk ahli Keuangan” yang diikuti oleh
berbagai Negara. Biaya training selama 1 bulan cukup mahal, $ 2.250
Walau waktu training penuh, tetapi ketika weekend tiba mulai hari Jumat sore sampai Minggu malam terasa panjang sekali. Untuk tidak mengingat 2 Pariban, Longga dan Jojor serta Laxmi, saya sempatkan wisata ke Niagara Fall naik Kereta Api AMTRAC dari Union Station, Washington DC.
Memandang keluar jendela terbayang perjalanan Kereta Api Gambir, Jakarta – Yogjakarta bersama Paribanku, Jojor. Terbayang waktu dia tidur dipangkuanku menjelang Purwokerto.
Terbayang juga Laxmi yang selalu BBM menanyakan kapan Abang datang ke Semarang. Katanya Ayahnya menanyakan saya terus.
Walau waktu training penuh, tetapi ketika weekend tiba mulai hari Jumat sore sampai Minggu malam terasa panjang sekali. Untuk tidak mengingat 2 Pariban, Longga dan Jojor serta Laxmi, saya sempatkan wisata ke Niagara Fall naik Kereta Api AMTRAC dari Union Station, Washington DC.
Memandang keluar jendela terbayang perjalanan Kereta Api Gambir, Jakarta – Yogjakarta bersama Paribanku, Jojor. Terbayang waktu dia tidur dipangkuanku menjelang Purwokerto.
Terbayang juga Laxmi yang selalu BBM menanyakan kapan Abang datang ke Semarang. Katanya Ayahnya menanyakan saya terus.
Tiba di pinggir Niagara fall, membayangkan saya akan kesana
lagi dengan pasanganku nanti. Kami akan menyeberang jembatan dan menginjak Canada, yang tampak jelas.Setibanya di Hotel
yang kutelpon pertama sekali adalah sahabat lama, Lasma yang sudah berkeluarga
di Jakarta.
“Las apa khabar dan khabar Ayah di Semarang ?”, tanya saya.
“Baik baik bang, hanya Ayah bertanya bang Leo terus”, jawabnya.
“Emang kenapa ?”, desak saya.
“Itulah bang, karena Abang tidak serius sama Laxmi, jadi ada teman dekatnya Laxmi sekarang”, katanya.
“Lho kan Laxmi baru masuk Semester VII”, kata saya.
“Temannya, seorang Dr bang, seniornya, dia serius”, jawabnya.
Hening. Saya terdiam mau mengatakan apa.
“Hallo…..hallo Leo kok diam”, tanya Lasma.
“Ya ya, baguslah, dengan orang mana ?”
“Manado”, katanya sambil melanjutkan :
”Abang datanglah ke Semarang”, katanya.
“Abang lagi di State sekarang, ada training”, jawab saya.
“Ayah tanya Abang serius ga sama Laxmi ?”, tanyanya.
“Gimana ya Las”, jawab saya ragu.
Gimana maksud Abang ?”, desak Lasma.
“Ya kalau dia cinta sama Dr itu, jangan fikirkan saya”, kata saya serius sambil melanjutkan :
”Jangan mengikuti pilihan orang tua, ikuti pilihan hati”, kata saya sambil mengingat lagi disakitii Longga yang kawin lari dengan Poltak, yang saling mencintai.
“Kirim salam sama Ayah dan Laxmi ya Las, bye..”, saya menutup telpon. Kukira tadinya Laxmi tidak akan mau kawin sebelum menjadi seorang Dr.
Sekarang hanya tinggal Jojor, yang masih menaruh harap padaku.
"Apa kalau ada Dr atau Letnan Angkatan Udara di Jogja, apa dia juga akan meninggalkan kuliahnya ?", begitu yang aku fikirkan.
"Atau dia maih mengharapkan saya. Pada hal saya tidak pernah memberi harapan PHP". Masih terasa sakitnya ditinggal oleh kakaknya Longga.
Weekend berikutnya saya tetap merasa kesepian di keramaian bersama 1 Bus rombongan city tour turis dari berbagai Negara mengunjungi Gedung PBB, Gedung World Trade center yang dulu di tabrak pesawat teroris, patung Liberty, semua di New York.
Seminggu sebelum training berakhir saya mempelajari banyak brosur tentang Universitas di bagian Pantai Timur, East coast Amerika, sekitar New York, Washington DC dan Philadhelpia.
Saya berniat mengambil Master tentang Keuangan di Wharton School of Business University of Philadhelpia. Ini termasuk Perguruan Tinggi terbaik di Amerika tempat Liem Sioe Liong dulu memperoleh Dr. Honoris Causa.
Setelah training Tehnology informasi usai, saya nekad tidak pulang lagi ke Indonesia, tapi kuliah di Philadelphia. Saya ambil jurusan Pasar Modal atau Bursa.
“Baik baik bang, hanya Ayah bertanya bang Leo terus”, jawabnya.
“Emang kenapa ?”, desak saya.
“Itulah bang, karena Abang tidak serius sama Laxmi, jadi ada teman dekatnya Laxmi sekarang”, katanya.
“Lho kan Laxmi baru masuk Semester VII”, kata saya.
“Temannya, seorang Dr bang, seniornya, dia serius”, jawabnya.
Hening. Saya terdiam mau mengatakan apa.
“Hallo…..hallo Leo kok diam”, tanya Lasma.
“Ya ya, baguslah, dengan orang mana ?”
“Manado”, katanya sambil melanjutkan :
”Abang datanglah ke Semarang”, katanya.
“Abang lagi di State sekarang, ada training”, jawab saya.
“Ayah tanya Abang serius ga sama Laxmi ?”, tanyanya.
“Gimana ya Las”, jawab saya ragu.
Gimana maksud Abang ?”, desak Lasma.
“Ya kalau dia cinta sama Dr itu, jangan fikirkan saya”, kata saya serius sambil melanjutkan :
”Jangan mengikuti pilihan orang tua, ikuti pilihan hati”, kata saya sambil mengingat lagi disakitii Longga yang kawin lari dengan Poltak, yang saling mencintai.
“Kirim salam sama Ayah dan Laxmi ya Las, bye..”, saya menutup telpon. Kukira tadinya Laxmi tidak akan mau kawin sebelum menjadi seorang Dr.
Sekarang hanya tinggal Jojor, yang masih menaruh harap padaku.
"Apa kalau ada Dr atau Letnan Angkatan Udara di Jogja, apa dia juga akan meninggalkan kuliahnya ?", begitu yang aku fikirkan.
"Atau dia maih mengharapkan saya. Pada hal saya tidak pernah memberi harapan PHP". Masih terasa sakitnya ditinggal oleh kakaknya Longga.
Weekend berikutnya saya tetap merasa kesepian di keramaian bersama 1 Bus rombongan city tour turis dari berbagai Negara mengunjungi Gedung PBB, Gedung World Trade center yang dulu di tabrak pesawat teroris, patung Liberty, semua di New York.
Seminggu sebelum training berakhir saya mempelajari banyak brosur tentang Universitas di bagian Pantai Timur, East coast Amerika, sekitar New York, Washington DC dan Philadhelpia.
Saya berniat mengambil Master tentang Keuangan di Wharton School of Business University of Philadhelpia. Ini termasuk Perguruan Tinggi terbaik di Amerika tempat Liem Sioe Liong dulu memperoleh Dr. Honoris Causa.
Setelah training Tehnology informasi usai, saya nekad tidak pulang lagi ke Indonesia, tapi kuliah di Philadelphia. Saya ambil jurusan Pasar Modal atau Bursa.
Walaupun nomor HP saya ganti dengan Nomor New York, kantor menghubungi
saya lewat email.
Email pertama intinya menanyakan khabar dan kapan pulang. Emailnya saya diamkan.
Email kedua memberi tenggat waktu untuk masuk kerja selama dua minggu.
Email terakhir memberitahukan peraturan Depnaker, jika ingin resign harus mengajukan surat 30 hari sebelum berhenti. Setelah email ketiga baru saya sampaikan permohon maaf dan surat resign.
Saya berfikir jika saya pulang pasti nanti saya akan bersikeras pergi ke Semarang melamar Laxmi, karena justru Ayahnya mendukung.Tetapi jika hatinya sudah cinta sama Dr, lebih baik saya relakan. Jika mereka saling mencintai, biatkanlah saya hanya menerawang bintang bintang.
----------
Email pertama intinya menanyakan khabar dan kapan pulang. Emailnya saya diamkan.
Email kedua memberi tenggat waktu untuk masuk kerja selama dua minggu.
Email terakhir memberitahukan peraturan Depnaker, jika ingin resign harus mengajukan surat 30 hari sebelum berhenti. Setelah email ketiga baru saya sampaikan permohon maaf dan surat resign.
Saya berfikir jika saya pulang pasti nanti saya akan bersikeras pergi ke Semarang melamar Laxmi, karena justru Ayahnya mendukung.Tetapi jika hatinya sudah cinta sama Dr, lebih baik saya relakan. Jika mereka saling mencintai, biatkanlah saya hanya menerawang bintang bintang.
----------
Oleh sebab itu, saya sungguh sungguh serius mengikuti kuliah di Wharton School of Business, Philadhelpia University. Dari minggu minggu awal saya masih merasa minder dengan bule bule yang jika diskusi pada lancar. Jadi saya memilih duduk dekat muka muka Asia, mengharap mereka bersedia saling membantu.
Ada 3 mahasiswa yang saya dekati. Satu mahasiswa Vietnam American, 1 mahasiswa Myanmar American , tapi sedikit sombong karena anak mantan Jendral Myanmar yang melarikan diri ke Amerika . Satu lagi mahasiswi beasiswa, asli Thailand. Saya agak kuatir terlalu dekat dengan mahasiswa Vietnam karena geng geng narkoba di Philadelphia banyak warga Vietnam dan berbahaya.
Jadi saya lebih banyak diskusi dan duduk dekat dengan mahasiswi Thailand. Wajahnya mirip mirip wajah Indonesia. Dia dapat Bea siswa dari perusahaannya, Bangkok Bank. Dia Pimpinan Cabang Chiang Mai di Thailand Utara, berbatasan dengan Laos dan Myanmar
Sedang saya hanya mengandalkan Tabungan sendiri plus bekerja part time di Tom Yam Thai.restaurant. Sedang hari Sabtu bekerja 8 jam di Panti Jompo, gajinya lumayan. Hanya hari Minggu saya tidak bekerja.
Karena tahu saya mahasiswa di Wharton School saya jadi ikut membantu di bagian Logistik dan membuat Statistik pengunjung di restoran.
Saya beli mobil bekas, sedan kecil buatan Korea, merek Hyundai tapi masih bagus. Harganya murah cuma
$ 5.000. Sedang Honda Accord baru cukup tinggi bisa mencapai $ 15.000. Beruntung pula saya bisa dengan mudah mendapat Visa student (I.20) sehingga tidak takut jika bertemu Polisi.
Kalau diskusi di café café Kampus kami sering bertiga dengan warga Vienam itu. Tapi seringnya saya berdua dengan Mis CHAI LAI, mahasiswi Thailand itu.
Sebagai laki laki yang punya harga diri, saya sering membayar makanan di Café, yang murah meriah, sekitar $ 10 - $ 15 untuk berdua. Tetapi kalau di restaurant biasanya dia yang duluan bayar. Jika saya memberikan sharing, dia selalu menolak
Sebagai orang Asia yang tahu sopan santun, suatu saat saya bertanya :”
What is Chai Lai meaning ?”.
“Pretty”, jawabnya sambil senyum. Betul juga, saya fikir. Lalu saya lanjutkan :
“Sorry are you married ?”.
“Mai”, jawabnya, maksudnya tidak dalam bahasa Thai.
Lalu dia yang bertanya balik:
”Are you married ?”, katanya.
“Mai”, jawabku kembali. Diapun tertawa terpingkel pingkel. Dari matanya saya lihat dia tidak berbohong, hanya tidak muda lagi.
Waktu sangat cepat berlalu, setahun kuliah, hubungan saya dengan Miss Chai Lai tetap bersahabat baik. Diskusi, membuat paper bersama, saling pinjam catatan.
Suatu waktu setelah rombongan kami kembali dari riset di bursa Wall Street, New York, kami harus segera membuat Laporan. Untuk itu saya dan Chai Lai menyusun di Apartmennya, hingga larut malam. Lalu saya pamit :
” I am going home”, kata saya.
“Stay here, sleep in that room”, katanya sambil menunjuk kamar untuk kamar tamu atau pembantu.
“This is piyama”, katanya menyerahkan sepasang miliknya.
“Khob Khun”, jawab saya mengucapkan terima kasih.
“Raatrie Sawat Krab”, kata saya mengucapkan Selamat malam. Dengan senyum dia menjawab :
”Good night”.
Esok paginya saya sudah duluan bangun dan memasak air. Disitu terdengar dia bangun, saya langsung buatkan kopi susu.
“A-roon-sa- wad”, sapa saya.
“Good morning Leo”, jawabnya. Rambut yang awut awutan menunjukkan aslinya memang cantik, sesuai dengan namanya Chai Lai.
Setelah mandi kami lanjutkan untuk menyelesaikan Laporan dari Bursa saham New York karena diserahkan paling lambat hari Jumat lusa. Jadi masih ada sehari untuk dikusi sekalian koreksi.
Di hari hari terakhir dia memperhatikan sikap saya agak pendiam dan gelisah. Lalu dia bertanya :”
Why did you look depressed lately ?”.
“Nothing, no problems”, jawab saya sambil senyum terpaksa.
“Come on Leo, tell me”, desaknya.
Lalu saya menceritakan :”My apartment due next month, I would move”, kata saya tertunduk lesu. Penghasilan dari double kerja tidak mencukupi lagi untuk sewa apartmen, sementara Tabungan sudah mulai menipis.
“Where are you going ?”, tanyanya.
“No idea”, jawab saya singkat samil menatap wajahnya yang merasa prihatin.
“Why don’t you move in with me ?”, katanya sambil memandang wajahku yang terperanjat.
“Really ?”, kata saya tidak percaya.
“How much I pay you ?”, tanya saya penasaran.
“Just pay your phone bills, sharing electricity and gas”, katanya.
“You are not kidding, right ?”, kata saya untuk meyakinkan. Diapun mengangguk.
“Khob Khun, Khob Khun”, kata saya berulang ulang mengucapkan terima kasih, sambil memeluknya erat erat. Dia agak kaget saya peluk begitu erat.
Dia sangat mengerti perjuangan saya cukup berat, kuliah sambil bekerja dengan penghasilan rendah, upah minimum, $ 7 per jam di restoran Thailand plus di Rmah Jompo.
Tapi saya nikmati melayani orang senior yang pada kesepian.Sering sekali saya harus membaca buku cerita sebelum mereka tidur. Sengaja saya cari cerita dari Indonesia seperti kisah sejenis Malin kundang. Untung saya senang membaca.
Sedang kerja di restoran ada juga senangnya belajar menghadapi bos dan karyawan, yang kebanyakan orang Latino dan Mexico. Sedang Chai Lai, bea siswanya dari Bangkok Bank cukup untuk membiayai hidupnya.
Karena kami tinggal satu atap, makanya wajar jika saling curhat masalah pribadi. Mulai dari keluarga, adat, makanan, wisata dan lain lain. Dia juga cerita masalah pribadinya. Dia sudah pernah menikah dengan seorang turis Perancis, pada waktu dia masih muda sebagai pemandu wisata. Tapi tidak lama dan tidak punya anak. Suaminya pulang ke Perancis.Memang kampungnya di propinsi Chiang Mai adalah Tempat Tujuan Wisata. Daerahnya dingin seperti Bandung, dengan sawah yang hijau dan banyak kerajinan tangan.
Saya juga ceritakan tentang nasib saya yang selalu sial, ditinggal wanita. Yang terakhir, dekat dengan Laxmi mahasiswa Kedokteran, tetapi, seniornya, seorang Dokter rencana serius melamarnya.
Sedang puteri paman, Jojor entah bagaimana hubungan nanti. Jika memang jodoh, ya terserahlah. Nanti habis saya selesai Master di State, dia juga akan wisuda setahun lagi. Tetapi kalau dia mencintai orang lain, tidak apa apa, saya relakan.
Chai Lai pernah berkata :”Nanti habis wisuda kita sama sama pulang ya”, ajaknya.
“Ok”, jawab saya singkat.
Dia ingin bawa saya keliling di Bangkok, mengunjungi pantai indah dan cabaret terkenal di Pattaya serta kampungnya yang sejuk, Chiang Mai. Dia mau ajak makan makanan tradisional diatas daun pisang, minum cendol dll. Bahkan dia menyerahkan sebuah buku kecil Conversation English – Thai. Katanya untuk persiapan.
No comments:
Post a Comment