Saturday, September 3, 2016

NOVEL : MEMBERI HARAPAN X @ LARI DARI BAYANG PARIBAN (10 )


                             
X MEMBERI HARAPAN

Sepulang dari  Phildelphia saya bekerja di Bapepam, Pasar Modal Jakarta, tidak jadi pulang bersama dengan Chai Lai ke kampungnya di Chiang Mai, sebelah Utara Thailand.

Setelah sampai di Ibukota, saya menghubungi kembali Bonar di Mess Lempuyangan, Yogjakarta karena no HPnya tidak bisa dihubungi.
“Hai Bonar, selamat malam, apa khabarmu dan apa khabar Paribanku, Jojor”, tanya saya,
“Leo ya, khabar baik, ini dimana, kok langsung tanya Paribannya sih”, jawabnya.
“ Aku sudah balik ke Jakarta, ya ialah itu adekku, lagi pula aku titip dia sama kau”, jawabku.

“Nampaknya kau ada hati ya sama dia dari dulu ?”, kata Bonar agak ketus.
“Kalau ya, keberatan ?, jawabku tidak kalah pedasnya.
“Tolong dulu nomor HPnya Jojor”, pintaku tegas. Diapun member tahu nomornya dan mengatakan :”Dia sudah punya pacar sekarang”, kata Bonar.
“Siapa” kata saya menelisik.
“Tanya aja sendiri”, katanya ketus
Lalu kutelpon Jojor :”Selamat malam adek, apa khabar”, tanyaku.
“Bang Leo ya, sekarang dimana bang masih di Amrik ?”, tanyanya.
“Baru mulai kerja di Bapepam Jakarta, gimana kuliahmu ?”, tanya saya.
Bagus kok bang, setahun lagi wisuda, kalau tidak ada halangan”, jawabnya.
“Wah Abang senang dengarnya, Paman juga pasti senang ya”, jawab saya.

“Kukira kuliah kau terhalang katanya kau sudah pacaran”, kata saya menelisik.
“Itu sih khabar burung bang, berteman boleh dong”, jawabnya.
“Siapa tuh teman dekatmu”, tanya saya.
“Nanti Abang ke Jogja aku beritahu”, jawabnya menggantung.
“Aku baru kerja ga bisa ke Jogja”, kata saya.
“Ya deh, Jojor aja yang ke Jakarta, ada hari Senin kejepit, banyak yang perlu dibicarakan”, katanya. "Apa itu dek”, tanya saya.
“Nantilah”, katanya penuh tanda tanya.

Sabtu paginya Jojor sudah sampai di stasiun K.A. Gambir, Jakarta. Äku jemput dia dan bawa ke Apartmenku di Kemayoran.Setelah mandi kami mulai ngobrol macam macam, masalah kuliahnya, perjuangan saya ambil Master di Philadelphia dan masalah keluarga di Sibolga.

Akhirnya dia memulai cerita tentang kakaknya Longga.
“Bang, kakak sekarang masih berduka, sejak kepergian bang Poltak”, katanya. Matanya berkaca kaca. Kubiarkan dia meneruskan ceritanya.
“Kesatuannya di BKO, diperbantukan ke Posso, Sulawesi Tengah membantu Polisi menumpas pemberontak di Gunung”, katanya.
“Kasihan anaknya yang baru belajar jalan”, dia bercucuran air mata.
Kuserahkan tissue kepadanya.

“Dimana dimakamkan ?”, tanya saya.
“Di Taman Makam Pahlawan Medan”, jawabnya.
“Mereka tinggal dimana sekarang ?”, tanya saya lagi.
“Masih di Asrama dulu di Medan”, jawabnya.
“Gimana bang ?”, tanyanya.
“Gimana maksudmu ?”, tanya saya. Dia tak henti hentinya mengusap air mata.

“Maksud aku…….begini bang, maaf…..Abang mau ga kawin sama kakak ?”, katanya setengah takut.
Ringggg, ringggg. “Hallo, pak ada tamu di Lobby”, kata recepsionis.
“Maaf Jojor, saya kebawah sebentar”, kata saya sambil berdiri lalu turun ke Lobby.

Setengah jam kemudian saya baru naik ke lantai 10 meneruskan pembicaraan setelah saya berfikir keras.
“Kalo dibalik, misaalnya Longga yang meninggal, Jojor mau ga gantiin Longga?”, tanya saya balik.
“Mau, karena Anaknya Longga, anakku juga”, katanya.
“Kalau Poltak yang meninggal, siapa yang akan menggantikannya ?”, tanyaku balik.
Dia bingung, katanya :”Ga tahu bang”, jawabnya pendek.
“Ya adiknya Poltak”, jawabku seraya menambahkan :
"Emang itu idemu atau ide siapa ?”, tanyaku lagi.
Äku tahu kan Abang suka sama kakak”, katanya.
Dari pada sama janda, kan lebih baik sama gadis”, kata saya keceplosan, karena emosi. Terus saya tambahkan :”Sayang adiknya juga sudah punya pacar”, kata saya memancing emosinya.

“Bang pacaran kan ga dilarang asal jangan terlalu serius, ingat kuliah”, katanya membela diri.
“Itu tu tuh, kata Bonar kau suka sama dia”, kata saya memancing.
“Ëh dia itu GR bang, dia yang selalu ingin serius, pada hal aku harus lulus dulu, kasihan Bapak, Ibu”, katanya bela diri. Jadi pancingan saya kena, dia dengan Bonar pacaran.
“Baguslah, Bonar pasti sabar menunggu”, kata saya membela.
“Masalahnya, dia Mahasiswa abadi bang, ga serius, kasih makan apa keluarganya nanti”, katanya dengan raut wajah serius.
Saya tidak menanggapi lagi dan mengajaknya makan siang di rumah makan Padang di Kemayoran. dekat apartmen.

Setelah jawaban saya, Jojor tidak mau lagi menyinggung masalah kakaknya. Dia tahu kalau saya marah jika meninggung tentang Longga.
Malamnya  kami mengajak makan Lasma dan suaminya di Pecenongan. Masakannya enak disana walau di tenda tenda. Sebaliknya justru Lasma mengajak kami makan di rumahnya dibilangan Grogol, Jakarta Barat..
Ditengah mencicipi makanan, Lasma yang mulai bertanya :

”Kapan kawinnya bang”, katanya.
“Wah belum tahu nih, belum ada calonnya”.
“Laxmi katanya sudah siap bang”, celetuk Jojor.
“Ssst dia sudah ada calonnya seorang Dokter, kapan nikahnya, Las”, tanya saya.
“Belum tahu tuh bang, maunya Bapak sih anak Medan”, kata Lasma.
“Nah bang ayo kita lamar saja langsung”, kata Jojor.
“Jor, Jor, kita harus mengikuti hati kita, bukan mengikuti hati orang tua, kaya kakakmu itu”, kata saya.
Jojor diam saja, tahu saya masih jengkel ditinggal kawin lari kakaknya.

Ditengah santap malam, kebetulan Laxmi telpon dari Semarang.
“Selamat malam Lax, apa khabar Bapak, ini bang Leo ada mau bicara ?””, jawabnya dan menyerahkan Hand phone kepada saya.
“Selamat malam Lax, ya sudah balik ke Jakarta, kapan kirim undangannya ?”, tanya saya.
“Bapak nih mau bicara”, kata Laxmi.
“Horas Leo, apa khabar, kapan main ke Semarang ?”, katanya.
“Saya baru kerja pak jadi belum boleh cuti”, kata saya dengan sopan.
“Nanti ada waktu saya datang pak, sehat sehat ya pak”, kata saya lalu menyerahkan HP kembali ke Lasma.

“Nah betul kan bang, Laxmi nunggu Abang”, celoteh Jojor lagi.
“Sudah kubilang, jangan sekali kali beri harapan sama orang, sakitnya itu disini tauk”, kata saya sambil memegang dada.
“Kau juga jangan main main sama Bonar”, kata saya.
"Oh jadian sama Bonar toch ?”, kata suami Lasma lalu mengulurkan tangan mau salaman.
“Tidak bang, kami hanya temanan”, kata Jojor tanpa menyalami suami Lasma.
“Jadi kita jadi keluarga dong”, kata Lasma sambil ketawa terkekeh kekeh.

Pulang ke Apartemen kami belum tidur, masih tetap cerita macam macam termasuk tentang kuliah Jojor. Lalu Jojor berkata :”Bang cariin saya perusahaan untuk nanti Riset nyusun skripsi”, katanya.
“Perusahaan apa ?”, tanya saya.
“Yang sudah Go publiclah bang, siapa tahu nanti bisa langsung kerja disitu”< katanya.
“Pintar kali kau dek, nanti Abang cari di Pasar Modal”, kata saya meyakinkan.
Jojor memang serius ingin menjadi Akuntan agar bisa jadi kebanggaan keluarga. Saya jadi ragu kalau dia mau sama Bonar, Mahasiswa Abadi itu.

Sebelum tidur saya bercerita tentang wanita Thailand kepada Jojor.
“Tadinya saya mau kerja di Bangkok, ditawari kerja di Bangkok Bank”, kata saya.
“Siapa yang tawarin bang", tanyanya ingin tahu lebih dalam.
“Mahasiswi, namanya Chai Lai”, Kepala Cabang Bank Bangkok di Chiang Mai, dia baik sekali”, kata saya.
“Baik apa cantik bang”, tanya Jojor menyindir.
“Dua duanya Jor, 6 bulan terakhir saya tinggal di Apartemennya””, kata saya.
“Tapi ga tinggalin Anak 
  kan bang”, katanya tertawa sambil lari ke kamar tidur dan menguncinya.
Saya melemparnya dengan bantal dan tidur di ruang tamu.

No comments:

Post a Comment