XV
JALAN
SENDIRI SENDIRI
Sejak
kembali dari Bangkok Jojor agak menjauh dengan alasan sibuk menyusun Laporan
bulanan, Laporan Keuangan akhir tahun, keluar kota dan macam macam. Dia
nampaknya sangat terganggu dengan anaknya Chai Lai yang mirip dengan saya.
Dari teman temannya saya mendengar kalau dia sedang didekati seorang tenaga ahli asing, warga Thailand di perusahaan yang sama.
Tapi disamping itu ada juga seorang pegawai Kantor Pajak yang suka menjemput Jojor waktu pulang kerja.
Bahkan suatu saat saya menonton fim di Jakarta theater, saya melihat dari jauh, dia bersama dengan seorang pria.
Besoknya saya telpon Jojor : “Jor semalam aku lihat berduaan nih di Jakarta theater, mesra banget”, kata saya.
“Betul, Abang nonton sama siapa ?”, tanyanya.
“Kenalinlah, itu yang orang Thailand kan ?”, tanya saya.
“Abang tahu dari mana”, tanyanya sambil melanjutkan :.“Dia baik bang, enak diajak ngomong”, katanya.
“Sudah saya bilang orang Thailand itu baik baik”, kata saya.
“Ngomong ngomong kapan keluarga Chai Lai ke Bali ?’, tanyanya.
“Libur Natal nanti, ayo ajak temanmu itu ya ?”, kata saya.
“Ya bang, saya coba”, jawabnya.
Sementara itu saya juga sedang sibuk ikut menangani 12 perusahaan yang akan Go public tahun ini. Saya juga ikut rombongan Pasar Modal road show ke 5 kota besar di Indonesia untuk memasarkan saham IPO, pesahaan yang baru go public yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan dan Ujung Pandang.
Saya tadinya minta ditugaskan ke Medan biar lebih kenal adat kebudayaan setempat. Tetapi justru tidak boleh, malah ditugaskan ke Surabaya biar lebih mengenal daerah sebelah Timur.
Saya semakin sering ke Surabaya karena ada 3 perusahaan mau expansi dan akan go public. Salah satunya industry besar Fabrik kertas.
Nah salah satu staf Keuangan fabric yang mengurusi go public, seorang gadis dari pulau Sabu, sebuah Kabupaten baru diselatan NTT. Namanya Enny Balo.
Diskusi dan rapat rapat sering dilakukan di kantor mereka di Jl. Tunjungan atau di fabrik di Sidoarjo.
Karena memang sering berdiskusi, maka suatu sore saya mengatakan kepada Enny : “Enny date linenya semakin dekat, kita lanjutkan nanti di restoran dekat rumahmu”, kata saya mencoba.
“Bos saya juga sudah mendesak juga pak”, jawabnya.
“Ih jangan panggil pak dong kalau diluar kantor, panggil saja bang atau Leo gitu”, kata saya.
“Oh ya mas, eh bang”, katanya sambil senyum manis sekali.
Pertemuan seperti ini berlangsung berhari hari hingga waktu restoran tutup jam 10 malam.
Ada kalanya Enny harus mengantar dokumen ke hotel Sheraton tempat saya menginap, walau hanya di ruang tamu.
Jika pulang agak malam saya antar dia kerumah keluarganya dari fihak Ibunya di perumahan Manyar Kertoarjo, sebuah perumahan cukup mewah. Jadi keluarganya sudah cukup kenal dengan saya.
Mengingat pengalaman saya ditinggal beberapa teman dekat, maka karena sudah mulai berumur, kali ini saya harus jelas jelas, jangan PHP lagi seperti diperingatkan oleh Jojor.
Saya melihat Enny juga tertarik dengan saya dan latar belakang saya, maka disuatu malam setelah dokumen go public sudah hampir lengkap, sebelum pulang ke Jakarta saya mengajak makan di restoran Dermaga sea food, di complex Darmo juga.
Pada kesempatan itu saya memberanikan diri berkata:”Enny, aku senang banget deh sama kamu”. Dia nampak kaget dan tidak menyangka.
Sunyi sejenak, lalu dia menjawab :”Saya kira Abang sudah ada yang punya”, katanya malu malu.
“Saya ga peduli kalau Enny sudah punya pacar, saya akan rebut”, kata saya sambil memegang tangannya. Dia pun kembali memegang tangan saya dengan erat. Wajahnya nampak berbunga bunga.
Ketika saya pulang ke Jakarta, saya sudah ada tanda tanda bahwa Eny serius dengan saya.
Hingga libur Natal tiba saya sengaja datang ke rumahnya. Didepan adik Ibunya saya berkata :”Bu saya mau ajak Enny libur ke Bali”.
“Boleh Leo tetapi dengan syarat adiknya juga ikut”, katanya. Maksudnya putri Ibu itu seraya melanjutkan :”Kenapa tidak langsung saja ke Sabu, ketemu orang tua Enny ?”, katanya.
Saya menoleh kearah Enny, diapun tersenyum dan mengagukkkan kepala tanda setuju. Mungkin mereka sudah mmbicarakannya terlebih dahulu.
Dari teman temannya saya mendengar kalau dia sedang didekati seorang tenaga ahli asing, warga Thailand di perusahaan yang sama.
Tapi disamping itu ada juga seorang pegawai Kantor Pajak yang suka menjemput Jojor waktu pulang kerja.
Bahkan suatu saat saya menonton fim di Jakarta theater, saya melihat dari jauh, dia bersama dengan seorang pria.
Besoknya saya telpon Jojor : “Jor semalam aku lihat berduaan nih di Jakarta theater, mesra banget”, kata saya.
“Betul, Abang nonton sama siapa ?”, tanyanya.
“Kenalinlah, itu yang orang Thailand kan ?”, tanya saya.
“Abang tahu dari mana”, tanyanya sambil melanjutkan :.“Dia baik bang, enak diajak ngomong”, katanya.
“Sudah saya bilang orang Thailand itu baik baik”, kata saya.
“Ngomong ngomong kapan keluarga Chai Lai ke Bali ?’, tanyanya.
“Libur Natal nanti, ayo ajak temanmu itu ya ?”, kata saya.
“Ya bang, saya coba”, jawabnya.
Sementara itu saya juga sedang sibuk ikut menangani 12 perusahaan yang akan Go public tahun ini. Saya juga ikut rombongan Pasar Modal road show ke 5 kota besar di Indonesia untuk memasarkan saham IPO, pesahaan yang baru go public yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan dan Ujung Pandang.
Saya tadinya minta ditugaskan ke Medan biar lebih kenal adat kebudayaan setempat. Tetapi justru tidak boleh, malah ditugaskan ke Surabaya biar lebih mengenal daerah sebelah Timur.
Saya semakin sering ke Surabaya karena ada 3 perusahaan mau expansi dan akan go public. Salah satunya industry besar Fabrik kertas.
Nah salah satu staf Keuangan fabric yang mengurusi go public, seorang gadis dari pulau Sabu, sebuah Kabupaten baru diselatan NTT. Namanya Enny Balo.
Diskusi dan rapat rapat sering dilakukan di kantor mereka di Jl. Tunjungan atau di fabrik di Sidoarjo.
Karena memang sering berdiskusi, maka suatu sore saya mengatakan kepada Enny : “Enny date linenya semakin dekat, kita lanjutkan nanti di restoran dekat rumahmu”, kata saya mencoba.
“Bos saya juga sudah mendesak juga pak”, jawabnya.
“Ih jangan panggil pak dong kalau diluar kantor, panggil saja bang atau Leo gitu”, kata saya.
“Oh ya mas, eh bang”, katanya sambil senyum manis sekali.
Pertemuan seperti ini berlangsung berhari hari hingga waktu restoran tutup jam 10 malam.
Ada kalanya Enny harus mengantar dokumen ke hotel Sheraton tempat saya menginap, walau hanya di ruang tamu.
Jika pulang agak malam saya antar dia kerumah keluarganya dari fihak Ibunya di perumahan Manyar Kertoarjo, sebuah perumahan cukup mewah. Jadi keluarganya sudah cukup kenal dengan saya.
Mengingat pengalaman saya ditinggal beberapa teman dekat, maka karena sudah mulai berumur, kali ini saya harus jelas jelas, jangan PHP lagi seperti diperingatkan oleh Jojor.
Saya melihat Enny juga tertarik dengan saya dan latar belakang saya, maka disuatu malam setelah dokumen go public sudah hampir lengkap, sebelum pulang ke Jakarta saya mengajak makan di restoran Dermaga sea food, di complex Darmo juga.
Pada kesempatan itu saya memberanikan diri berkata:”Enny, aku senang banget deh sama kamu”. Dia nampak kaget dan tidak menyangka.
Sunyi sejenak, lalu dia menjawab :”Saya kira Abang sudah ada yang punya”, katanya malu malu.
“Saya ga peduli kalau Enny sudah punya pacar, saya akan rebut”, kata saya sambil memegang tangannya. Dia pun kembali memegang tangan saya dengan erat. Wajahnya nampak berbunga bunga.
Ketika saya pulang ke Jakarta, saya sudah ada tanda tanda bahwa Eny serius dengan saya.
Hingga libur Natal tiba saya sengaja datang ke rumahnya. Didepan adik Ibunya saya berkata :”Bu saya mau ajak Enny libur ke Bali”.
“Boleh Leo tetapi dengan syarat adiknya juga ikut”, katanya. Maksudnya putri Ibu itu seraya melanjutkan :”Kenapa tidak langsung saja ke Sabu, ketemu orang tua Enny ?”, katanya.
Saya menoleh kearah Enny, diapun tersenyum dan mengagukkkan kepala tanda setuju. Mungkin mereka sudah mmbicarakannya terlebih dahulu.
Sampai
Jakarta saya menghubungi Jojor dan Chai Lai di Bangkok memastikan tanggal kedatangan
mereka di Bali yaitu tgl 26 Desember.
Ticket termasuk mahal karena sudah dekat liburan, peak season, tapi tidak masalah.
Hari itu pun tiba, kami memberitahukan tempat ketemu baik dengan Chai Lai maupun dengan Jojor.
Sorenya tgl 26 Desember jam 19.00 kami bertemu di restoran Warung Made di dekat pantai Kuta, memperkenalkan masakan Bali. Mereka juga tinggal di Hotel disekitar Kuta.
Sebagai Tuan rumah, saya dan Enny sudah duluan tiba di restoran dengan pakaian santai, baju batik. Tidak lama kemudian keluarga Chai Lai datang.
“Hello,how are you”, kata saya sambil memeluk Chai Lai dan mencium anaknya, Ruthai.
“This is my husband, Somsak”, kata Chai Lai sambil menyalaminya.
“This is my girl friend, Enny”, kata saya.
“Girl friend or fiancĂ©e ?”, tanyanya menggoda.
“Just friend”, kata Enny malu malu.
“Ruthai, you are so beautiful”, kata saya sambil memangku Ruthai, anaknya Chai Lai.
Kamipun duduk di ruang khusus dibelakang. Ada alunan musik gending Bali dan juga pelayan dengan pakaian pakaian khas Bali.
“Where is Jojor ?”, kata Chai Lai.
“She is on the way”, jawab saya.
“I thought you were with Jojor”, kata Chai Lai.
“No, I was with Enny recently”, jawab saya sambil memegang tangan Enny.
Enny sangat cantik dan menawan dengan rok warna warni, tenun ikat khas Sabu.
“Welcome to Bali”, kata Jojor setengah berteriak dari pintu masuk.
Diapun mencium Chai Lai dan anaknya dan menyalami suaminya.
“This is Alex”, kata Jojor memperkenalkannya kepada kami semua.
“Kenalin ini Enny Balo”, kata saya kepada Jojor dan Alex
Pelayan datang menyodorkan menu. Satu persatu memesan makanan dan minuman kesukaan masing masing. Saya sengaja memesan Ayam Betutu yang empuk untuk dibagi, dicoba oleh keluarga Chai Lai.
Lalu saya tarik tangan dan mengajak Jojor kebelakang dan bertanya : “Pemuda Thailand itu mana ?”, tanya saya.
”Ah itu cuman teman bang”; kata Jojor.
“Paman sudah diberi tahu pemuda Thailand itu atau si Alex ini”, desak saya.
“Belum ada yang saya beritahu bang, namanya saja penjajakan, mumpung masih muda ini”, katanya datar.
“Jangan PHP begitu sama laki laki Jor”, kata saya mengingatkan kata katanya kembali.
Kamipun gabung kembali bersama sama.
“Let us know where are you want to go “, kata saya kepada Somsak, suami Chai Lai. Kami ingin membawa mereka jalan jalan di Bali.
“Sure, we will”, jawabnya.
“Jojor will visit Bangkok often, she had a good Thai friend in the company”, kata saya.
Jojor melotot melihat saya dan berkata :”Just a friend”, katanya sambil melirik Alex. Lalu melanjutkan :”Just like Leo and Chai Lai, a good friend”.
Diapun memangku anak Chai Lai dan berkata :”You look like uncle Leo, sweet heart”, kata Jojor.
Ruthai, anak kecil itu belum tahu apa apa.
“Apa apaan kau”, kata saya melihat Jojor.
Chai Lai mengerti maksud kata kata Jojor, lalu berkata : “Yes when I was pregnant, I pray that my child should be like Leo”, kata Chai Lai tanpa malu malu, mengakui waktu mengandung, mengharap anaknya menyerupai saya, sahabat baiknya selama 18 bulan di Amerika.
Karena suasana kurang enak, Alex permisi merokok keluar.
“I expected Jojor will come with a Thai man”, kata saya agak dongkol.
“I thought you will come with Jojor”, kata Chi Lai membalas..
Untuk menenangkan suasana terutama untuk Enny dan suami Cai Lai, saya menjelaskan : “Impossible for me get married with Jojor, since her sister leaved me and married some one else”, kata saya menceritakan kawin larinya kakaknya Jojor.
Lalu saya lanjutkan :”Jojor was my little sister, my uncle daughter anyway”, kata saya menekankan bahwa Jojor itu tetap menjadi adek saya.
Menjelang jam 10 malam Ruthai sudah tertidur dan kami pun berpisah.
“We have a quide to take us around”, kata Somsak bahwa kami tidak perlu mengantar mereka selama di Bali.
“Ok then, tomorrow I and Enny will fly to the East to meet her parent, 2 hours flight away”, kata saya menjelaskan rencana kami akan ke pulau Sabu.
“Enjoy your stay in Bali”, kata saya lalu mencium Ruthai dan memeluk Chai Lai.
Keluar dari restoran Jojor dan Alex menghampiri dan bertanya :”Serius bang mau ketemu orang tua Enny”, tanya Jojor.
“Ya kak kami mau ke pulau Sabu”, kata Enny terus melanjutkan :”Mau berkenalan dulu, lihat bagaimana nanti”, katanya.
“Rencanaku, nanti Enny mau kami beri marga Pandiangan, jadi dia akan jadi Paribanku”, kata saya melirik Enny yang senyum sangat manis.
“Kalau begitu aku akan panggil kakak dong”, kata Jojor.
“Kalian kapan ke Sibolga Alex”, tanya saya.
“Tanya Jojor aja bang, dia masih ragu ragu sama saya”, katanya sambil melirik Jojor. Lalu menambahkan :”Temannya sih banyak”, kata Alex
“Yang seriuslah Jojor”, kata saya.
“Ya bang, saya bukan seperti Abang”, katanya sambil tertawa tawa.
Kami pun berpisah.
Kami bertiga landing di bandara El Tari, Kupang dan menginap semalam lalu melanjutkan penerbangan esok harinya dengan pesawat perintis satu satunya milik Ibu Susi Pujiastuti.
Terbang melayang layang diudara, semoga selamat melihat dibawa sana hanya birunya laut selama 50 menit sebelum mendarat di bandara kecil Tardamu, sudah dijemput oleh orangtua Enny.
“Ini Leonard Hutagalung pak, bu”, kata Enny sambil menyalami dengan cara cium hidung. Hidung dengan hidung ketemu, adat kebiasaan setempat. Bibir Ibunya merah, bekas makan sirih pinang. Rasanya agak malu malu mencium hidung. Untung sudah diberi tahu Enny sebelumnya.
Ticket termasuk mahal karena sudah dekat liburan, peak season, tapi tidak masalah.
Hari itu pun tiba, kami memberitahukan tempat ketemu baik dengan Chai Lai maupun dengan Jojor.
Sorenya tgl 26 Desember jam 19.00 kami bertemu di restoran Warung Made di dekat pantai Kuta, memperkenalkan masakan Bali. Mereka juga tinggal di Hotel disekitar Kuta.
Sebagai Tuan rumah, saya dan Enny sudah duluan tiba di restoran dengan pakaian santai, baju batik. Tidak lama kemudian keluarga Chai Lai datang.
“Hello,how are you”, kata saya sambil memeluk Chai Lai dan mencium anaknya, Ruthai.
“This is my husband, Somsak”, kata Chai Lai sambil menyalaminya.
“This is my girl friend, Enny”, kata saya.
“Girl friend or fiancĂ©e ?”, tanyanya menggoda.
“Just friend”, kata Enny malu malu.
“Ruthai, you are so beautiful”, kata saya sambil memangku Ruthai, anaknya Chai Lai.
Kamipun duduk di ruang khusus dibelakang. Ada alunan musik gending Bali dan juga pelayan dengan pakaian pakaian khas Bali.
“Where is Jojor ?”, kata Chai Lai.
“She is on the way”, jawab saya.
“I thought you were with Jojor”, kata Chai Lai.
“No, I was with Enny recently”, jawab saya sambil memegang tangan Enny.
Enny sangat cantik dan menawan dengan rok warna warni, tenun ikat khas Sabu.
“Welcome to Bali”, kata Jojor setengah berteriak dari pintu masuk.
Diapun mencium Chai Lai dan anaknya dan menyalami suaminya.
“This is Alex”, kata Jojor memperkenalkannya kepada kami semua.
“Kenalin ini Enny Balo”, kata saya kepada Jojor dan Alex
Pelayan datang menyodorkan menu. Satu persatu memesan makanan dan minuman kesukaan masing masing. Saya sengaja memesan Ayam Betutu yang empuk untuk dibagi, dicoba oleh keluarga Chai Lai.
Lalu saya tarik tangan dan mengajak Jojor kebelakang dan bertanya : “Pemuda Thailand itu mana ?”, tanya saya.
”Ah itu cuman teman bang”; kata Jojor.
“Paman sudah diberi tahu pemuda Thailand itu atau si Alex ini”, desak saya.
“Belum ada yang saya beritahu bang, namanya saja penjajakan, mumpung masih muda ini”, katanya datar.
“Jangan PHP begitu sama laki laki Jor”, kata saya mengingatkan kata katanya kembali.
Kamipun gabung kembali bersama sama.
“Let us know where are you want to go “, kata saya kepada Somsak, suami Chai Lai. Kami ingin membawa mereka jalan jalan di Bali.
“Sure, we will”, jawabnya.
“Jojor will visit Bangkok often, she had a good Thai friend in the company”, kata saya.
Jojor melotot melihat saya dan berkata :”Just a friend”, katanya sambil melirik Alex. Lalu melanjutkan :”Just like Leo and Chai Lai, a good friend”.
Diapun memangku anak Chai Lai dan berkata :”You look like uncle Leo, sweet heart”, kata Jojor.
Ruthai, anak kecil itu belum tahu apa apa.
“Apa apaan kau”, kata saya melihat Jojor.
Chai Lai mengerti maksud kata kata Jojor, lalu berkata : “Yes when I was pregnant, I pray that my child should be like Leo”, kata Chai Lai tanpa malu malu, mengakui waktu mengandung, mengharap anaknya menyerupai saya, sahabat baiknya selama 18 bulan di Amerika.
Karena suasana kurang enak, Alex permisi merokok keluar.
“I expected Jojor will come with a Thai man”, kata saya agak dongkol.
“I thought you will come with Jojor”, kata Chi Lai membalas..
Untuk menenangkan suasana terutama untuk Enny dan suami Cai Lai, saya menjelaskan : “Impossible for me get married with Jojor, since her sister leaved me and married some one else”, kata saya menceritakan kawin larinya kakaknya Jojor.
Lalu saya lanjutkan :”Jojor was my little sister, my uncle daughter anyway”, kata saya menekankan bahwa Jojor itu tetap menjadi adek saya.
Menjelang jam 10 malam Ruthai sudah tertidur dan kami pun berpisah.
“We have a quide to take us around”, kata Somsak bahwa kami tidak perlu mengantar mereka selama di Bali.
“Ok then, tomorrow I and Enny will fly to the East to meet her parent, 2 hours flight away”, kata saya menjelaskan rencana kami akan ke pulau Sabu.
“Enjoy your stay in Bali”, kata saya lalu mencium Ruthai dan memeluk Chai Lai.
Keluar dari restoran Jojor dan Alex menghampiri dan bertanya :”Serius bang mau ketemu orang tua Enny”, tanya Jojor.
“Ya kak kami mau ke pulau Sabu”, kata Enny terus melanjutkan :”Mau berkenalan dulu, lihat bagaimana nanti”, katanya.
“Rencanaku, nanti Enny mau kami beri marga Pandiangan, jadi dia akan jadi Paribanku”, kata saya melirik Enny yang senyum sangat manis.
“Kalau begitu aku akan panggil kakak dong”, kata Jojor.
“Kalian kapan ke Sibolga Alex”, tanya saya.
“Tanya Jojor aja bang, dia masih ragu ragu sama saya”, katanya sambil melirik Jojor. Lalu menambahkan :”Temannya sih banyak”, kata Alex
“Yang seriuslah Jojor”, kata saya.
“Ya bang, saya bukan seperti Abang”, katanya sambil tertawa tawa.
Kami pun berpisah.
Kami bertiga landing di bandara El Tari, Kupang dan menginap semalam lalu melanjutkan penerbangan esok harinya dengan pesawat perintis satu satunya milik Ibu Susi Pujiastuti.
Terbang melayang layang diudara, semoga selamat melihat dibawa sana hanya birunya laut selama 50 menit sebelum mendarat di bandara kecil Tardamu, sudah dijemput oleh orangtua Enny.
“Ini Leonard Hutagalung pak, bu”, kata Enny sambil menyalami dengan cara cium hidung. Hidung dengan hidung ketemu, adat kebiasaan setempat. Bibir Ibunya merah, bekas makan sirih pinang. Rasanya agak malu malu mencium hidung. Untung sudah diberi tahu Enny sebelumnya.
Tadinya
saya mau tinggal di Penginapan Makarim, di pusat kota karena tidak ada kamar
khusus buat saya dirumahnya Enny, harus tidur diruang tengah.
Enny bilang :”Tidur di penginapan nanti Abang dikira sombong dan nanti malah Abang tidak dikasi kapur sirih, tanda penolakan”, kata Enny menjelaskan.
Malam itu juga kami makan malam duduk ditikar, seperti di kampung di Sumatra Utara.
Habis makan Bapaknya bertanya :”Sudah berkenalan berapa lama dan kerjanya dimana ?”.
“Kami baru berteman selama 4 bulan, tapi kami sama sama suka pak”, jawab saya.
Enny mengangguk dan berkata.
Bapaknya berkata :”Lanjutkan dulu hubungan kalian beberapa bulan kedepan dan kau sudah lihat kami orang miskin begini”, katanya.
“Kami kebetulan bekerja mengurusi perusahaan pak”, kata saya.
“Nanti kita lihat perkembangan hubungan kalian”, katanya.
“Ya, pak, terima kasih”.
Habis selesai makan sayapun diminta memakan sirih pinang. Saya ragu ragu memakannya karena membayangkan pedasnya.
Enny melihat saya dan berbisik :”Harus dimakan bang, kalau tidak Abang tidak akan disetujui melanjutkan hubungan kita”, katanya menjelaskan.
“Bagaimana kalau saya muntah ?”, tanya saya.
“Kunyah pelan pelan, nanti dorong dengan air teh”, katanya.
Wah jangan sampai ditolak, fikirku, sayapun mengunyah. Waduh pedas sekali, buru buru minum teh, kunyah lagi, minum lagi.
Semua mata memandang saya dengan senyum setelah mengunyah.
Lalu saya cepat cepat ke kamar mandi dan gosok gigi.
Keliling di Pulau Sabu betul betul indah, pantai putih bersih perawan, tanpa sampah. Kami kejar kejaran hingga lelah. Bekas kaki dipasir tinggal sepasang, karena saya menggendongnya.
Kami membawa gitar ke Pantai, jari jarinya yang lentik putih itu memetik tali gitar dan menyanyi lagu : “Oo nawanni tana ee, li ta b'oleh ballo”, yang artinya kekasih jangan melupakanku.
Sayapun mencoba lagu Batak sekedarnya diiringi petikan gitarnya.
Petang hari, kami mandi di sungai yang jernih airnya. Nampak batu batu didasarnya. Para wanita mandi berbalut kain. Saya mandi ditempat lain dengan celana pendek. Airya sungguh sejuk, enak mandi berlama lama.
Tanggal 2 Januari kami terbang kembali ke Kupang dan esoknya ke Denpasar dan kemudian pindah pesawat ke Surabaya. Setelah mengantar Enny dan adiknya kerumahnya di Darmo Kertoarjo, penerbangan malam itu saya kembali ke Jakarta
Dalam pesawat saya merenung, tidak sabar menunggu beberapa bulan lagi, seperti permintaan Ayah Enny. Semoga tidak ada pria lain yang merebut hatinya, yang rencananya akan menjadi Enny Balo Pandiangan, Pariban saya.
Ayah, Ibu Jojor akan menjadi Orangtua pada rencana pernikahan nanti.
Enny bilang :”Tidur di penginapan nanti Abang dikira sombong dan nanti malah Abang tidak dikasi kapur sirih, tanda penolakan”, kata Enny menjelaskan.
Malam itu juga kami makan malam duduk ditikar, seperti di kampung di Sumatra Utara.
Habis makan Bapaknya bertanya :”Sudah berkenalan berapa lama dan kerjanya dimana ?”.
“Kami baru berteman selama 4 bulan, tapi kami sama sama suka pak”, jawab saya.
Enny mengangguk dan berkata.
Bapaknya berkata :”Lanjutkan dulu hubungan kalian beberapa bulan kedepan dan kau sudah lihat kami orang miskin begini”, katanya.
“Kami kebetulan bekerja mengurusi perusahaan pak”, kata saya.
“Nanti kita lihat perkembangan hubungan kalian”, katanya.
“Ya, pak, terima kasih”.
Habis selesai makan sayapun diminta memakan sirih pinang. Saya ragu ragu memakannya karena membayangkan pedasnya.
Enny melihat saya dan berbisik :”Harus dimakan bang, kalau tidak Abang tidak akan disetujui melanjutkan hubungan kita”, katanya menjelaskan.
“Bagaimana kalau saya muntah ?”, tanya saya.
“Kunyah pelan pelan, nanti dorong dengan air teh”, katanya.
Wah jangan sampai ditolak, fikirku, sayapun mengunyah. Waduh pedas sekali, buru buru minum teh, kunyah lagi, minum lagi.
Semua mata memandang saya dengan senyum setelah mengunyah.
Lalu saya cepat cepat ke kamar mandi dan gosok gigi.
Keliling di Pulau Sabu betul betul indah, pantai putih bersih perawan, tanpa sampah. Kami kejar kejaran hingga lelah. Bekas kaki dipasir tinggal sepasang, karena saya menggendongnya.
Kami membawa gitar ke Pantai, jari jarinya yang lentik putih itu memetik tali gitar dan menyanyi lagu : “Oo nawanni tana ee, li ta b'oleh ballo”, yang artinya kekasih jangan melupakanku.
Sayapun mencoba lagu Batak sekedarnya diiringi petikan gitarnya.
Petang hari, kami mandi di sungai yang jernih airnya. Nampak batu batu didasarnya. Para wanita mandi berbalut kain. Saya mandi ditempat lain dengan celana pendek. Airya sungguh sejuk, enak mandi berlama lama.
Tanggal 2 Januari kami terbang kembali ke Kupang dan esoknya ke Denpasar dan kemudian pindah pesawat ke Surabaya. Setelah mengantar Enny dan adiknya kerumahnya di Darmo Kertoarjo, penerbangan malam itu saya kembali ke Jakarta
Dalam pesawat saya merenung, tidak sabar menunggu beberapa bulan lagi, seperti permintaan Ayah Enny. Semoga tidak ada pria lain yang merebut hatinya, yang rencananya akan menjadi Enny Balo Pandiangan, Pariban saya.
Ayah, Ibu Jojor akan menjadi Orangtua pada rencana pernikahan nanti.
T A M M A T
No comments:
Post a Comment