III
YEN ING TAWANG ONO LINTANG
Kembali lagi ke kampus Gajah Mada, Yogjakarta, kembali pula ke tempat
kos, di belakang pasar Bringharjo, Yogjakarta, kembali ke lingkungan pergaulan
teman mahasiswa.
Biasanya sepeda motor kami akan bersama sama beriringan berangkat ke kampus. Tiga mahasiswi UII, Universitas Islam Indonesia akan berhenti dekat Jalan Solo, sedangkan saya sendiri akan terus sedikit lagi ke Utara, kampus Fakultas Ekonomi di Bulaksumur, gedung megah kokoh tiga lantai, sejak 6 dekade silam.
Waktu pulang kuliah satu mahaiswi tsb, Sri Setianingsih akan menunggu saya pulang. Dia saya antar sampai Mesjid Agung dekat alun alun Utara. Kemudian dia berjalan kaki beberapa meter kerumahnya, Jalan Kauman, adalah perkampungan khusus Muslim.. Sedang Alun alun Utara sendiri tidak jauh dari tempat kos saya dibelakang pasar Bringharjo.
Pertemanan kami sudah cukup lama, hampir 2 tahun. Dia sering kerumah kos saya pada malam Minggu. Ketika itu 2 kadet Angkatan Udara yang gagah dengan seragam yang berstrip putih dari sekitar bandara Adisucipto appel, menemui 2 orang teman kos, mbak Sri, mbak Endang, adiknya dan mbak Sumiyati. Biasanya kami berenam pergi nonton bioskop atau makan malam bareng.
Pernah juga ketika saya baru pulang dari kampung, kami menonton bioskop berdua di bioskop Ratih, sedikit di Selatan Tugu. Untuk naik tangga, tangan kiri saya menarik tangannya. Dia merasa ada cincin dijari manis saya. Memang saya tidak menyembunyikannya. Setelah melihat, dia terkejut dan bertanya :” Abang sudah nikah ?”, tanyanya penasaran.
“Ohh, maaf saya belum cerita, malam ini saya saya akan verita, saya memang baru bertunangan”.
“Ini pertunangan Adat”, kata saya.
Dia lalu pamit ke kamar mandi. Saya tunggu 15 menit belum juga kembali. Lampu bioskop sudah mulai padam, film akan segera diputar. Kuatir dia susah menemukan kursinya, lalu saya susul. Menunggu di pintu keluar WC wanita tidak juga keluar. Kutelpon, HPnya juga mati.
Kuatir ada apa apa, saya masuk WC wanita. Setiap WC saya periksa. Para wanita menjerit, kaget. Ada yang lapor ke keamanan. Saya pun diseret keluar, diinterrogasi.
Saya tanya :”Lihat wanita baju biru berambut panjang ga ?”.
“Agak kurus ya mas, hitam manis”.
“Ya ya”, jawabku penuh tanya.
“Oh sudah keluar bioskop mas 15 menit lalu”, kata petugas keamanan.
Saya berkali kali menelpon HPnya, dimatikan. Kutelpon terakhir nyambung, lalu dimatikan. Tidak mau bicara dengan saya. Lalu saya BBM menyebutkan akan datang kerumahnya.
Kemudian saya menuju rumahnya. Baru sekali itu saya kerumahnya, itupun ramai ramai waktu ulang tahunnya yank ke 19.
Belum pernah saya kerumahnya sendirian, karena selalu dilarang. Ayahnya pasti marah besar kalau dia tahu saya orang Sumatera, Kristen pula. Bisa bisa saya diusir. Tetapi kali ini saya nekad. Ingin menjelaskan tentang pertunangan kami.
“Mau cari siapa ?”, cergah Ibunya yang membuka pintu. “Mau ketemu mbak Sri bu”. “Dia belum pulang”, katanya. Lalu menutup pintu.
Kejadian ini saya ceritakan kepada mbak Suniyati, dan mbak Endang, teman sekuliahnya yang satu kos dengan saya. Dan minta tolong menghubunginya sekalian menceritakan kalau saya baru bertunangan dengan Pariban, anak paman kandung, yang secara adat memang merupakan pilihan pertama.
Dua minggu kemudian baru kami bisa bertemu di Mall Yogja di Malioboro. Sambil minum Coca Cola, makan burger dan French fries dengan perlahan saya menceritakan:
“Orang tua kami sudah saling berjanji”, kata saya. Lalu dengan ketus Sri memotong :
”Dijodohkan ya !”. Saya mengangguk pelan.
Baru saya perjelas hubungan antar kami.
“Sri, kita kan sudah hampir 2 tahun berhubungan baik”, kata saya.
“Terus terus piye ?”. Gimana maksudnya.
“Sri memang pengen nikah sama Abang ?”.
“Ihh GR aja ini orang”. Maksudnya Gede Rumongso atau Sok lah.
“Siapa mau nikah sma situ”, jawabnya pedes sambil nyengol siku saya.
“Sri, Sri, kita suda tahu Ayah Ibumu tidak akan menerima saya”, kata saya menduga hatinya. Lalu saya lanjutkan :
”Emang Sri mau kawin lari ?”.
“Ehh siapa yang mau kawin, kawin lari lagi”, katanya sedikit senyum. Mulutnya ditutupi sama jilbabnya yang berwarna hijau sejuk dipandang mata. Persis seperti bintang di langit biru.
“Saya ga mau jadi istri kedua”, katanya tertawa lepas.
“Istri pertama saja belum tentu saya mau”, katanya terbahak bahak. Yang duduk di meja sebelah sampai memalingkan kepala kearah kami.
“Lalu cincinnya mau dikembalikan, dikirim pake paket gitu ?”, katanya lagi menggoda.
“Ya kalau Sri mau kawin lari, ya kita kirim kembali, Sri yang memakketkannya”, tangkis saya.
“Dugaan saya sih, Abang pasti nikah setelah wisuda, pasti itu.”
Suatu analisa mahasiswa yang kritis atau intuisi tajam seorang wanita.
Lalu saya coba menggambarkan kegalauan hati saya.
“Orang tua kami itu kakak adik, berniat menjodohkan kami sejak kecil”, saya memulai kisahnya.
Tapi karena pengunjung restoran semakin ramai, kurang enak ceritanya, akan kami sambung lagi nanti, hari lain.
Begitulah masalahnya berpacaran LDR, Long distance relationship. Pagi hingga petang, Longga sibuk sekolah dan les untuk ujian akhir SMA. Lalu sorenya pulang naik angkutan umum. Dia sudah capek sampai rumah. Jarang kami berkomunikasi lewat hand phone. Paling BBMan. Balasnya juga lama. Saya senggang, dia sibuk. Dia senggang, saya kuliah.
Akhirnya kusiasati dengan berkirim surat. Saya sering menyurati, tapi hanya satu surat yang dibalas. Saya terus bertanya tanya dalam hati, menduga duga. Apakah Longga dan Poltak masih berhubungan. JIka saya tanya dia selalu meyakinkan tidak lagi. Mereka hanya sebatas teman.
Ketika kutanya sama adiknya Jojor, dia mengaku kalau Poltak tidak pernah lagi kerumah.
“Tapi kalau hari Sabtu kakak sering pulang telat bang”’, lapor Jojor.
“Ibu sering juga mengingatkan kakak kalau dia sudah tunangan, jangan berhubungan lagi dengan Poltak ”, lanjutnya.
“Tetapi entahlah bang, dia sering termenung dan sedih setelah bertunangan itu”, kata Jojor.
Bulan berganti bulan, arah hubungan saya dengan Longga belum juga semakin jelas malah semakin dingin. Seperti kata pepatah :”Dekat dimata dekat dihati”. “Dekat di api panas, jauh dingin”.
Begitukah ?.
Longga, anak tertua memang anak penurut orang tua, tidak pernah berbantah bantah dengan adik adiknya, apa lagi orang tua. Beda sekali dengan adiknya Jojor yang berani melawan kakaknya, bahkan Ibunya sendiri.
Kegalauan hati ini saya sampaikan kepada Sri pada suatu malam Selasa waktu dia pamitan kepada Ibunya, mau belajar bersama dirumah kos kami dengan teman sekuliahnya.
Saya ulangi lagi cerita pertunangan kami, kalau Orangtua kami yang kakak beradik sudah berjanji sejak kami kecil akan dijodohkan. Itu yang disebut Pariban atau anak paman. Jika masih ada anak paman sendiri dan kalau mau ya menjadi prioritas pertama jadi istri.
Terus saya melanjutkan:”Hampir setahun hubungan kami Sri, bukan semakin mesra, tetapi semakin dingin”.
“Apa lagi dia sudah punya pacar selama 3 tahun, cinta monyet sejak mereka SMP”.
“Saya beruntung kenal mbak Sri, teman baik untuk curhat”, kata saya memandang matanya yang bersinar seperti bintang . Seperti ingin mengetahui isi hatinya. Diapun memandang mata saya tanpa berkedip. Ada semacam chemistry disana. Rasanya hati kami sudah bertaut. Sayang, kami juga dihalangi jurang yang menganga lebar, yang sulit dijembatani. Yaitu keyakinan.
Ibunya Sri sudah mendapat informasi tentang latar belakang saya, kalau saya orang Batak, Kristen pula.
Malam itu Ibunya Sri telpon mbak Sumiyati dirumah kos :
“HP nya mbak Sri kok ga diangkat angkat Sum, bisa bicara sebentar”, katanya. Dengan polos Sumiyati menjawab :
”Lagi cari makan di Malioboro bu”, jawabnya.
Tdak lama kakaknya Sri mencari ke Malioboro dan ketemu, kami sedang duduk lesehan menyantap gudeg, kesukaan saya. Kami juga sedang menunggu lukisan wajah Sri oleh pelukis jalanan.
“Ibu nyuruh pulang sekarang Sri”, kata kakaknya.
Sri tidak ada alasan untuk tidak pergi karena ketahuan berbohong mau belajar sama temannya, ternyata berduaan dengan saya.Diapun pamit, meninggalkan lukisan wajah Sri yang bercahaya seperti bintang dengan jilbab warna biru, warna damai, kesukaan kami berdua,
Sejak malam itu, Sri tidak boleh lagi keluar malam, tidak boleh lagi belajar malam ketempat kos kami. Pergi kuliah pun tidak pernah sama sama lagi. Dia selalu diantar keluarga. Kalau saya mencari dia di kampus UII, dia selalu menghindar. Hingga habis Semester IV, dia tidak muncul lagi di kos , tidak muncul lagi di kampus UII.
Hingga suatu hari, tanpa hujan, gledek gemuruh, kami terkejut mendapat Amplop lebar berwarna kuning merah, Surat Undangan, nama Sri Setianigsih jelas tercetak disana. Pernikahan dengan pria pilihan orang tua. Sedikit shock juga karena Sri tidak pernah cerita sedikit pun. Untung saya bersandar di tiang, tidak sampai jatuh.
Kami menghormati undangan, datang menghadiri resepsi pernikahan. Sri didandan gaya Jawa, sangat elegan. Pengantin pria bertubuh besar tinggi. Terbayang, kalau saya adalah pendampingnya.
“Ayo salaman”, kata mbak Sumiyati. Lamunan saya buyar
lalu mulai berjalan pelan pelan ke pelaminan. Biasanya sepeda motor kami akan bersama sama beriringan berangkat ke kampus. Tiga mahasiswi UII, Universitas Islam Indonesia akan berhenti dekat Jalan Solo, sedangkan saya sendiri akan terus sedikit lagi ke Utara, kampus Fakultas Ekonomi di Bulaksumur, gedung megah kokoh tiga lantai, sejak 6 dekade silam.
Waktu pulang kuliah satu mahaiswi tsb, Sri Setianingsih akan menunggu saya pulang. Dia saya antar sampai Mesjid Agung dekat alun alun Utara. Kemudian dia berjalan kaki beberapa meter kerumahnya, Jalan Kauman, adalah perkampungan khusus Muslim.. Sedang Alun alun Utara sendiri tidak jauh dari tempat kos saya dibelakang pasar Bringharjo.
Pertemanan kami sudah cukup lama, hampir 2 tahun. Dia sering kerumah kos saya pada malam Minggu. Ketika itu 2 kadet Angkatan Udara yang gagah dengan seragam yang berstrip putih dari sekitar bandara Adisucipto appel, menemui 2 orang teman kos, mbak Sri, mbak Endang, adiknya dan mbak Sumiyati. Biasanya kami berenam pergi nonton bioskop atau makan malam bareng.
Pernah juga ketika saya baru pulang dari kampung, kami menonton bioskop berdua di bioskop Ratih, sedikit di Selatan Tugu. Untuk naik tangga, tangan kiri saya menarik tangannya. Dia merasa ada cincin dijari manis saya. Memang saya tidak menyembunyikannya. Setelah melihat, dia terkejut dan bertanya :” Abang sudah nikah ?”, tanyanya penasaran.
“Ohh, maaf saya belum cerita, malam ini saya saya akan verita, saya memang baru bertunangan”.
“Ini pertunangan Adat”, kata saya.
Dia lalu pamit ke kamar mandi. Saya tunggu 15 menit belum juga kembali. Lampu bioskop sudah mulai padam, film akan segera diputar. Kuatir dia susah menemukan kursinya, lalu saya susul. Menunggu di pintu keluar WC wanita tidak juga keluar. Kutelpon, HPnya juga mati.
Kuatir ada apa apa, saya masuk WC wanita. Setiap WC saya periksa. Para wanita menjerit, kaget. Ada yang lapor ke keamanan. Saya pun diseret keluar, diinterrogasi.
Saya tanya :”Lihat wanita baju biru berambut panjang ga ?”.
“Agak kurus ya mas, hitam manis”.
“Ya ya”, jawabku penuh tanya.
“Oh sudah keluar bioskop mas 15 menit lalu”, kata petugas keamanan.
Saya berkali kali menelpon HPnya, dimatikan. Kutelpon terakhir nyambung, lalu dimatikan. Tidak mau bicara dengan saya. Lalu saya BBM menyebutkan akan datang kerumahnya.
Kemudian saya menuju rumahnya. Baru sekali itu saya kerumahnya, itupun ramai ramai waktu ulang tahunnya yank ke 19.
Belum pernah saya kerumahnya sendirian, karena selalu dilarang. Ayahnya pasti marah besar kalau dia tahu saya orang Sumatera, Kristen pula. Bisa bisa saya diusir. Tetapi kali ini saya nekad. Ingin menjelaskan tentang pertunangan kami.
“Mau cari siapa ?”, cergah Ibunya yang membuka pintu. “Mau ketemu mbak Sri bu”. “Dia belum pulang”, katanya. Lalu menutup pintu.
Kejadian ini saya ceritakan kepada mbak Suniyati, dan mbak Endang, teman sekuliahnya yang satu kos dengan saya. Dan minta tolong menghubunginya sekalian menceritakan kalau saya baru bertunangan dengan Pariban, anak paman kandung, yang secara adat memang merupakan pilihan pertama.
Dua minggu kemudian baru kami bisa bertemu di Mall Yogja di Malioboro. Sambil minum Coca Cola, makan burger dan French fries dengan perlahan saya menceritakan:
“Orang tua kami sudah saling berjanji”, kata saya. Lalu dengan ketus Sri memotong :
”Dijodohkan ya !”. Saya mengangguk pelan.
Baru saya perjelas hubungan antar kami.
“Sri, kita kan sudah hampir 2 tahun berhubungan baik”, kata saya.
“Terus terus piye ?”. Gimana maksudnya.
“Sri memang pengen nikah sama Abang ?”.
“Ihh GR aja ini orang”. Maksudnya Gede Rumongso atau Sok lah.
“Siapa mau nikah sma situ”, jawabnya pedes sambil nyengol siku saya.
“Sri, Sri, kita suda tahu Ayah Ibumu tidak akan menerima saya”, kata saya menduga hatinya. Lalu saya lanjutkan :
”Emang Sri mau kawin lari ?”.
“Ehh siapa yang mau kawin, kawin lari lagi”, katanya sedikit senyum. Mulutnya ditutupi sama jilbabnya yang berwarna hijau sejuk dipandang mata. Persis seperti bintang di langit biru.
“Saya ga mau jadi istri kedua”, katanya tertawa lepas.
“Istri pertama saja belum tentu saya mau”, katanya terbahak bahak. Yang duduk di meja sebelah sampai memalingkan kepala kearah kami.
“Lalu cincinnya mau dikembalikan, dikirim pake paket gitu ?”, katanya lagi menggoda.
“Ya kalau Sri mau kawin lari, ya kita kirim kembali, Sri yang memakketkannya”, tangkis saya.
“Dugaan saya sih, Abang pasti nikah setelah wisuda, pasti itu.”
Suatu analisa mahasiswa yang kritis atau intuisi tajam seorang wanita.
Lalu saya coba menggambarkan kegalauan hati saya.
“Orang tua kami itu kakak adik, berniat menjodohkan kami sejak kecil”, saya memulai kisahnya.
Tapi karena pengunjung restoran semakin ramai, kurang enak ceritanya, akan kami sambung lagi nanti, hari lain.
Begitulah masalahnya berpacaran LDR, Long distance relationship. Pagi hingga petang, Longga sibuk sekolah dan les untuk ujian akhir SMA. Lalu sorenya pulang naik angkutan umum. Dia sudah capek sampai rumah. Jarang kami berkomunikasi lewat hand phone. Paling BBMan. Balasnya juga lama. Saya senggang, dia sibuk. Dia senggang, saya kuliah.
Akhirnya kusiasati dengan berkirim surat. Saya sering menyurati, tapi hanya satu surat yang dibalas. Saya terus bertanya tanya dalam hati, menduga duga. Apakah Longga dan Poltak masih berhubungan. JIka saya tanya dia selalu meyakinkan tidak lagi. Mereka hanya sebatas teman.
Ketika kutanya sama adiknya Jojor, dia mengaku kalau Poltak tidak pernah lagi kerumah.
“Tapi kalau hari Sabtu kakak sering pulang telat bang”’, lapor Jojor.
“Ibu sering juga mengingatkan kakak kalau dia sudah tunangan, jangan berhubungan lagi dengan Poltak ”, lanjutnya.
“Tetapi entahlah bang, dia sering termenung dan sedih setelah bertunangan itu”, kata Jojor.
Bulan berganti bulan, arah hubungan saya dengan Longga belum juga semakin jelas malah semakin dingin. Seperti kata pepatah :”Dekat dimata dekat dihati”. “Dekat di api panas, jauh dingin”.
Begitukah ?.
Longga, anak tertua memang anak penurut orang tua, tidak pernah berbantah bantah dengan adik adiknya, apa lagi orang tua. Beda sekali dengan adiknya Jojor yang berani melawan kakaknya, bahkan Ibunya sendiri.
Kegalauan hati ini saya sampaikan kepada Sri pada suatu malam Selasa waktu dia pamitan kepada Ibunya, mau belajar bersama dirumah kos kami dengan teman sekuliahnya.
Saya ulangi lagi cerita pertunangan kami, kalau Orangtua kami yang kakak beradik sudah berjanji sejak kami kecil akan dijodohkan. Itu yang disebut Pariban atau anak paman. Jika masih ada anak paman sendiri dan kalau mau ya menjadi prioritas pertama jadi istri.
Terus saya melanjutkan:”Hampir setahun hubungan kami Sri, bukan semakin mesra, tetapi semakin dingin”.
“Apa lagi dia sudah punya pacar selama 3 tahun, cinta monyet sejak mereka SMP”.
“Saya beruntung kenal mbak Sri, teman baik untuk curhat”, kata saya memandang matanya yang bersinar seperti bintang . Seperti ingin mengetahui isi hatinya. Diapun memandang mata saya tanpa berkedip. Ada semacam chemistry disana. Rasanya hati kami sudah bertaut. Sayang, kami juga dihalangi jurang yang menganga lebar, yang sulit dijembatani. Yaitu keyakinan.
Ibunya Sri sudah mendapat informasi tentang latar belakang saya, kalau saya orang Batak, Kristen pula.
Malam itu Ibunya Sri telpon mbak Sumiyati dirumah kos :
“HP nya mbak Sri kok ga diangkat angkat Sum, bisa bicara sebentar”, katanya. Dengan polos Sumiyati menjawab :
”Lagi cari makan di Malioboro bu”, jawabnya.
Tdak lama kakaknya Sri mencari ke Malioboro dan ketemu, kami sedang duduk lesehan menyantap gudeg, kesukaan saya. Kami juga sedang menunggu lukisan wajah Sri oleh pelukis jalanan.
“Ibu nyuruh pulang sekarang Sri”, kata kakaknya.
Sri tidak ada alasan untuk tidak pergi karena ketahuan berbohong mau belajar sama temannya, ternyata berduaan dengan saya.Diapun pamit, meninggalkan lukisan wajah Sri yang bercahaya seperti bintang dengan jilbab warna biru, warna damai, kesukaan kami berdua,
Sejak malam itu, Sri tidak boleh lagi keluar malam, tidak boleh lagi belajar malam ketempat kos kami. Pergi kuliah pun tidak pernah sama sama lagi. Dia selalu diantar keluarga. Kalau saya mencari dia di kampus UII, dia selalu menghindar. Hingga habis Semester IV, dia tidak muncul lagi di kos , tidak muncul lagi di kampus UII.
Hingga suatu hari, tanpa hujan, gledek gemuruh, kami terkejut mendapat Amplop lebar berwarna kuning merah, Surat Undangan, nama Sri Setianigsih jelas tercetak disana. Pernikahan dengan pria pilihan orang tua. Sedikit shock juga karena Sri tidak pernah cerita sedikit pun. Untung saya bersandar di tiang, tidak sampai jatuh.
Kami menghormati undangan, datang menghadiri resepsi pernikahan. Sri didandan gaya Jawa, sangat elegan. Pengantin pria bertubuh besar tinggi. Terbayang, kalau saya adalah pendampingnya.
Kami menyalami satu persatu. Orang tua kedua pasangan. Saya memilih antrian paling belakang. Ketika menyalami tangan Sri, agak lama, air matanya menetesi pipi. Hampir saya mau menghapus air mata itu. Tapi saya sadar diperhatikan pengantin pria dan Ibunya Sri.
Dari sudut ruangan terdengar tembang seorang sinden wanita:
“Yen ing tawang ono lintang cah ayu”. Yang artinya Di langit ada bintang anak manis.
No comments:
Post a Comment