Thursday, September 22, 2016

NOVEL : ANAK CHAI LAI MIRIP LEO XIV @LARI DARI BAYANG PARIBAN (14)


                                                         XIV

                                ANAK CHAI LAI MIRIP LEO
 
Sebagai auditor yang bisa diandalkan di perusahaan peternakan ayam PT. Charoen, dia ikut Kepala Auditor ke Kantor Pusat di Bangkok, Thailand. Karena perusahaan termasuk yang go public, semua temuan harus diclearkan dulu sebelum dipublikasikan. Karena temuan tersebut hasil kerja audit Jojor maka dia diikiut sertakan ke Kantor Pusat di Bangkok.

Sebelum pergi Jojor menelpon saya :”Bang mau ikut ke Bangkok ga ?”, katanya.
“Jojor ngapain kesana ?”, tanya saya.
“Ikut bos ke Kantor Pusat bang”, jawabnya.
“Berdua atau …?”, tanya saya lagi.
“Emang kalau berdua keberatan ?”, jawabnya.
“Nga sih, tapi ingat dia sudah bersuami”, kata saya.
“Makanya Abang saya ajak”, jawabnya.
“Saya ga bisa lagi banyak tugas nih”, kata saya.

Lalu Jojor bertanya :”Boleh ga bang aku ketemu sama teman kuliah Abang yang d Bangkok ?”, tanyanya.
“Boleh boleh, nanti Abang telpon dia kalau kau mau datang”, jawab saya.
Lalu saya lanjutkan :”Ngapain ketemu dia segala ?”, kata saya.
“Kalau ga boleh sih ga apa apa bang, ada rahasia kali he he he”, katanya tertawa menggoda.
“Kau ini ngawur aja”, kata saya  dengan nada tawa.

Karena berangkat sore saya sempatkan mengantarkan Jojor ke bandara Soekarno Hatta dan bertemu dengan bosnya Jojor.
“Titip ya pak, Inggrisnya belum fasih”, kata saya sambil menyalami bosnya.
Saya juga menyerahkan Buku kecil Thai – English conversation, sekadar percakapan sehari hari , mungkin berguna.

Setelah tiga hari sibuk di kantor, malamnya Jojor bertelpon :”Presentasinya bagus bang, saya yang operasikan computer, bos yang presentasi”, katanya. Lalu dilanjutkan :”Ini hasil audit team yang saya pimpin, kata bos kepada Direktur Pengawasan”, kata Jojor dengan nada senang.
“Besok Sabtu baru aku ketemu sama mantan pacarmu Chai Lai”, kata Jojor agak ketawa.
Jojor melanjutkan :”Saya dijemput di hotel bersama suami dan anak perempuan dan dibawa ke restoran  yang terkenal, Malika di jalan Kaset-Navamin, wilayah Boong Koom, sedikit diluar kota”.

 Saya tidak bisa menduga bagaimana pembicaraan mereka besok karena bahasa Inggrisnya Jojor belum fasih, maklum belum lama bekerja di perusahaan asing itu.

Sabtu malam sudah jam 10, Jojor telpon dari Bangkok berkata :
”Keluarganya baik, makanannya juga enak bang”, kata Jojor.
“Yalah, itu mantan Kepala Cabang Chiang Mai, sekarang dibidang Pasar Modal, pantaslah Jojor dibawa ke restoran mahal”, kata saya.
“Saya memperkenalkan diri sebagai litte sisternya Abang, tapi dia bilang You are his cousin”, katanya bang.
“Jojor lupa ya, saya sudah cerita kalau Jojor itu my uncle daughter, Pariban saya”, jawab saya.
“Suaminya ramah sekali, hanya kulitnya sedikit coklat, katanya sih asalnya dari pantai Pattani di Selatan Thailand.
“Lucu kau Jor kok perhatiin kulit segala”, kata saya bingung.
“Iya bang, mirip banget sama orang Indonesia”, kata Jojor.
“Kita memang mirip mirip dengan Myanmar, Laos dan Melayu”, kata saya mendukung.
“Dia punya anak cewek lagi lucu lucunya, tapi kulitnya putih seperti Ibunya”, kata Jojor.
“Mungkin DNA ikut Ibunya, dominan Ibunya”, kata saya membela.
“Tapi dia mirip Abang ha ha ha”, katanya.
“Kan sudah kubilang, wajah kita mirip mirip warga Byrma, Laos dan Melayu”, kata saya lagi.
“Lihat bang foto selfie saya sama dia”, kata Jojor.
Lalu saya melihat di hand phone saya dan berkata :”Ga mirip Jor”, dia mirip Ibuya”, kata saya walau dalam hati saya mengaku ada miripnya.
“Di foto beda bang, kalau aslinya mirip lho”, katanya cekikikan.
“Kau nih ada ada saja bacotmu, kapan kau pulang ?”, tanya saya.
“Selasa bang, Minggu dan Senin orang kantor akan bawa saya wisata ke Pattaya, kalo bos sudah pulang duluan”, katanya.
“Selamat malam bang, salam kangen dari Chai Lai”, katanya mengejek lalu menutup telpon.

Hari Senin pagi pagi, dapat telpon dari Ibu saya di Sibolga :”Leo kapan kau pulang, kita sudah kangen”, katanya.
“Belum ambil cuti bu, apa khabar Bapak dan adek adek semua ?”, tanya saya.
“Kami baik baik saja, Pamanmu yang kurang sehat, makanya kemarin Senen Jojor pulang”, katanya.
“Tapi dia masih di Luar Negeri”., kata saya.
“Katanya dari Singapura langsung kesini, gimananya kalian tidak saling member  khabar rupanya”, kata Ibu.
“Bagaimana sebenarnya hubungan kau sama Jojor ?”, tanya Ibu.
“Kami biasa biasa saja, dia bebas, saya juga bebas”, jawab saya. Lalu melanjutkan :“Nanti saya atur cuti dulu ya Inang, lihat kerjaan dulu”, kata saya, lalu menutup telpon.

Sampai hari Sabtu Jojor tidak komunikasi dengan saya, artinya saya fikir tidak ada masalah. Kesehatan Paman baik baik saja dan pembicaraan dengan Chai Lai di Bangkok biasa biasa saja.

Pada hari minggu seperti biasa saya ke Gereja di Gereja HKBP Grogol dan saya gabung Paduan Suara Pemuda disana. Lasma dan suaminya juga anggota disana karena rumah mereka dekat disekitar Petojo Sabangan, Jakarta Barat.
Minggu itu Jojor juga ikut datang kebhaktian, walau bukan anggota disana.

Habis Gereja  Jojor datang dan berkata :
“Ayo pulang, ada yang perlu kita bicarakan”, katanya.
“ Saya masih ada acara tidak bisa ditinggal, ntar sore deh”, kata saya.
“Senang sih banyak cewek cantik”, katanya merengek lalu pergi bersama Lasma dan suaminya.
Banyak anggota Paduan Suara yang mengajak ke acara di rumah rumah keluarga tapi saya tidak begitu senang dengan acara acara adat yang banyak menghabiskan waktu hingga malam malam. Banyak juga yang dandanannya berlebihan pada hal saya sukanya yang asli, kalau perlu polesan seadanya, seperti gadis Jawa.
Paling kalau ada acara satu marga atau marga Ibu/Paman, baru saya tertarik untuk pergi, sekalian mengenal mereka yang ada hubungan darah dengan Bapak dan Ibu saya, hubungan dekat ataupun jauh. Kalau marga Ibu saya, pasti saya ajak Jojor.

Ada juga sih yang aku suka, anak Pejabat Sekneg, orangnya ramah, tidak sombong. Sayang sudah punya pacar. Ada juga guru SMP yang cantik alami, diapun sudah punya teman dekat sesama Guru.

Sore harinya saya ke rumah kosnya Jojor di Sunter, Jakarta Utara. Karena di kosnya banyak  orang, kami pergi keluar sekalian makan malam. Kami cari makanan di bilangan Jalan Sabang, Jakarta Pusat.
“Makan dimana kita”, tanya saya.
“Terserah Abang”, katanya.
“Kangen Chai Lai ya, kita makan disini”, kata Jojor ketika kami masuk restoran Thailand di bilangan Jalan Sabang, Jakarta Pusat.
Saya tidak menjawab sindirannya.

“Katanya kau pulang kampung, gimana khabar Paman ?”, tanya saya.
“Sudah baikan saya pulang, saya ga jadi jalan ke Pattaya karena Ibu telpon Bapak sakit”, katanya.
“Bapak juga tanya khabar Abang, kapan pulang, dia kangen”, wajah Jojor sedih.
“Nanti pasti aku tengok Pamanlah”, kata saya sambil pegang tangannya.

Sambil menikmati  sop Thailand Tom Yam Kung yang asam asam pedas, Jojor bertanya :
“Lihat bang foto ini mirip kali sama Abang”, katanya sambil menunjukkan foto putri Chai Lai.
“Yang jujur bang, itu anak Abang ya ?”, tanyanya kemudian.
“Kalo anak saya kenapa ?”, saya ketawa sambil melanjutkan :”Tahu ga umurnya anak itu berapa ?”, tanya saya.
“Sekitar 1 tahun, baru bisa berjalan”, jawabnya.
“Kami sama sama di Amrik sudah 2 tahun lebih”, berarti itu anaknya.
“Tapi suaminya agak sawo matang coklat begitu kulitnya.
“Ya biasalah, mirip Ibunya”, jawab saya.

“Abang harus jujur, kalau anak Abang, akui saja, berdosa bang”, katanya.
“Kan mereka akan memeliharanya”, lanjut Jojor.
“Nanti kita ketemu langsung deh dengan Chai Lai, suami dan anaknya waktu mereka libur ke Bali, nanti kita tanya langsung”, kata saya.
Diapun agak tenang, walau tetap curiga.
  



 
























 
 









 

No comments:

Post a Comment